Pengertian putusan dan pengertian penetapan
A. Pengertian putusan
Putusan
disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk Pengadilan Agama
karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat”
dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk
peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdiction cententiosa.
Putusan Peradilan Perdata ( Peradilan Agama
adalah Peradilan Perdata ) selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak
yang kalah utuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan
sesuatu, atau menghukum sesuatu. Jadi dictum vonis selalu bersifat
condemnatoir artinya menghukum, atau bersifat constitutoir artinya
menciptakan.
Perintah
dari Pengadilan ini, jika tidak dituruti dengan suka rela, dapat diperintahkan
untuk dilaksanakan secara paksa yang disebut di eksekusi.
Bentuk
dan Isi Putusan
Bila
diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, mulai dari halaman pertama
sampai halaman terakhir, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara singkat
adalah sebagai berikut:
A.
Bagian kepala putusan.
B.
Nama Pengadilan Agama yang memutus dan jenis perkara.
C.
Identitas pihak-pihak.
D.
Duduk perkaranya (bagian posita).
E.
Tentang pertimbangan hokum.
F.
Dasar Hukum.
G.
Diktum atau amar putusan.
H.
Bagian kaki putusan.
J.
Tanda tangan hakim dan panitera serta perincian biaya.
A.
Bagian ini memuat kata PUTUSAN atau kalau salinan, adalah SALINAN PUTUSAN.
Baris di bawah dari kata itu adalah Nomor Putusan, yaitu menurut nomor
urut pendaftaran perkara, diikuti garis miring dan tahun pendaftaran
perkara, misalnya Nomor 79/1983, artinya perkara urutan ke-79 dalam tahun
1983, walaupun tanggal diputusnya perkara mungkin saja tahun 1984. Nomor
urut pendaftaran gugatan maupun permohonan mempergunakan satu buku yang
disebut Buku Pendaftaran Perkara.
Baris selanjutnya adalah
tulisan huruf besar semua yang berbunyi BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM, untuk
memenuhi perintah Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 7 tahun 1989. Menurut pasal
tersebut, ditulis dengan huruf besar semua tanpa disertai kode bacaan harakat
panjang atau pendek sebagai ayat dari Alquran.
Baris di bawah lagi adalah tulisan yang
berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA sebagai memenuhi
Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 14 tahun 1970 dan Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 7
tahun 1989.
B.
Nama Pengadilan Agama yang Memutus dan Jenis Perkara
Sesudah
yang tersebut di butir A, maka dicantumkan pada baris selanjutnya nama
Pengadilan Agama yang memutus yang sekaligus disertai menyebutkan jenis
perkara, misalnya “Pengadilan Agama Palembang, yang telah memeriksa dan
mengadili dalam tingkat pertama, perkara gugatan cerai.”
Penyebutan perkara yang bersifat gugatan
kumulatif cukup menyebutkan saja induk perkaranya. Misalnya perkara
gugatan cerai yang disertai nafkah istri, nafkah anak, nafkah iddah, harta
bersama, dapat disebut saja “perkara gugatan cerai”.
C.
Identitas Pihak-pihak
Penyebutan
identitas pihak, dimulai dari identitas penggugat, lalu identitas tergugat.
Pemisah keduanya itu ialah dengan tulisan dalam baris tersendiri yang berbunyi
“Berlawanan dengan.”
Identitas pihak ini
meliputi nama, bin/binti siapa (nama dan bin/binti ditulis dengan huruf besar
semua), alias atau julukan (kalau ada), umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal
terakhir, sebagai penggugat atau tergugat. Jika kumulasi penggugat atau
kumulasi tergugat, sebutkan sebagai penggugat atau ter gugat ke berapa, misalnya
Penggugat I, Penggugat II, Tergugat I, Tergugat II dan sebagainya. Jika memakai
kuasa, sebutkan identitas Pemegang kuasa itu, barangkali berikut nomor dan
tanggal surat kuasanya.
Kalau dalam proses conventie dan reconventie
atau intervensi atau vrijwaring, status pihak tersebut harus disebutkan pula,
misalnya “yang dulu sebagai penggugat dalam conventie, kini sebagai tergugat
dalam reconventie.”
D.
Duduk Perkaranya (Bagian Posita)
Pada
bagian ini dikutip dari gugatan penggugat, jawaban tergugat, keterangan saksi
dan hasil dari Berita Acara siding selengkapnya tetapi singkat, jelas dan tepat
serta kronologis. Juga dicantumkan alat-alat bukti lainnya yang diajukan oleh
pihak-pihak.
Ingat, pengadilan di bagian ini belum memberikan
penilaian atas alat-alat bukti melainkan hanya mencantumkan hubungan atau atau
peristiwa hukum serta dalil-dalil atau alat-alat bukti yang diajukan oleh kedua
belah pihak.
Sekalipun perkara reconventie atau intervensi
atau vrijwaring misalnya, tentang duduk perkaranya tidak perlu
dipisah-pisah-kan tersendiri, jadi tidak perlu “duduk perkaranya dalam
conventie” dan “duduk perkaranya dalam reconventie” dibuat
sendiri-sendiri. Begitu pula dalam intervensi atau vrijwaring. Tegasnya gabung
saja dalam satu duduk perkaranya yang mencakup keseluruhan, yang memuat hal-hal
yang disebutkan di atas tadi.
E.
Tentang Pertimbangan Hukum dan Dasar Hukum
Bagian ini terdiri dari alasan memutus
(pertimbangan) yang biasanya dimulai dengan kata “menimbang” dan dari dasar
memutus yang biasanya dimulai dengan kata “mengingat”.
Pada
alasan memutus maka apa yang diutarakan dalam bagian “duduk perkaranya”
terdahulu, yaitu keterangan pihak-pihak berikut dalil-dalilnya, alat-alat bukti
yang diajukannya harus ditimbang semua secara seksama satu persatu, tidak boleh
ada yang luput dari ditimbang, diterima atau ditolak. Pertimbangan terakhir
adalah pihak yang mana yang akan dinyatakan sebagai pihak yang akan dibebankan
untuk memikul biaya perkara karena kalah.
Pada dasar memutus, dasar hukumnya ada dua, yaitu
peraturan perundang-undangan Negara disusun menurut urutan derajatnya, misalnya
Undang-Undang didahulukan dari Peraturan Pemerintah, lalu urutan tahun
terbitnya , misalnya UU Nomor 14 tahun 1970 didahulukan dari UU Nomor I
tahun 1974. Sebut title peraturan perundang-undangan tersebut tentang apa,
tahun dan nomor Lembaran Negaranya.
Dasar
hukum syara’ usahakan mencarinya dari Alquran, Hadis, Qaul Fuqaha, yang
diterjemahkan juga menurut bahasa hokum. Mengutip Alquran harus menyebut nomor
surat, nama surat, nomor ayat. Mengutip Hadis harus menyebut siapa sanad-nya,
bunyi matannya, siapa pentakhrijnya dan disebutkan pula dikutip dari kitab apa.
Kitab ini harus disebut siapa pengarang, nama kitab, penerbit, kota tempat
diterbitkan, tahun terbit, jilid dan halamannya. Mengutip qaul fuqaha’
juga harus menyebut kitabnya selengkapnya seperti di atas, apalagi bukan
tidak ada kitab yang sama judulnya tetapi lain pengarangnya.
Alasan
memutus dan dasar memutus yang wajib menunjuk kepada peraturan perundang-undangan
Negara atau sumber hukum lainnya dimaksudkan (c/q. dalil syar’y bagi Peradilan
Agama) memang diperintahkan oleh Pasal 23 ayat (I) UU Nomor 14 tahun 1970.
F. Diktum atau Amar
Putusan
Bagian
ini didahului oleh kata “mengadili” yang diletakkan di tengah-tengah, dalam
baris tersendiri, semua dengan huruf besar.
Isi diktum atau amar putusan bias terdiri dari
beberapa point, tergantung kepada petita (tuntutan) penggugat dulunya. Jika
perkara reconventie atau intervensi atau vrijwaring maka diktum ini harus
dipecah dalam dua bagian, yaitu diktum dalam conventie dan dictum dalam
reconventie, atau diktum dalam gugatan asal dan diktum dalam interventie,atau
diktum dalam gugatan asal dan diktum dalam vrijwaring, kecuali kalau putusan
pengadilan memang dijadikan dua putusan (sekalipun diselesaikan bersama-sama
dalam satu proses).
Walaupun
intinya putusan bersifat condemnatoir tetapi biasa juga ada unsur declaratoir
atau constitutoir, hal itu tergantung dari petita penggugat . Misalnya,
menerima gugatan penggugat (declaratoir), menyatakan sah ta’liq talaq sudah
terwujud atau sudah terlanggar (declaratoir), menceraikan penggugat dan
tergugat (constitutoir), menghukum tergugat untuk membayar nafkah idah
(condemnatoir), menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara (condemnatoir).
Harus
diingat, amar putusan untuk diktum pertama dan terakhir selalu sama.
Diktum pertama ialah tentang formal perkara apakah diterima oleh pengadilan
atau tidak yaitu dilihat dari segi syarat-syarat formal pengajuan perkara.
Diktum terakhir selalu tentang menghukum pihak yang kalah untuk membayar biaya
perkara, kecuali untuk perkara di bidang perkawinan selalu dibebankan kepada
penggugat atau pemohon. Diktum di tengah-tengah, di antara diktum pertama dan
diktum terakhir, itulah putusan tentang pokok perkara.
G. Bagian Kaki Putusan
Bagian kaki putusan yang dimaksudkan ialah
dimulai dari kata-kata “Demikianlah putusan Pengadilan Agama….”
Yang
perlu diingatkan di sini ialah dalam hal tanggal diputus perkara dalam
permusyawaratan majelis hakim berlainan dengan tanggal putusan diucapkan, sebab
hal itu membawa perubahan kepada “bagian kaki” putusan, apalagi jika berlainan
hakim yang memutus dalam musyawarah majelis hakim dengan yang mengucapkan
keputusan di samping berlainan tanggal musyawarah dan tanggal pengucapan
putusan.
H. Tanda Tangan Hakim dan
Panitera dan Perincian Biaya
Pada
asli putusan, semua hakim dan dan panitera sidang harus bertanda tangan
tetapi pada Salinan Putusan, hakim dan panitera hanya “ttd” (tertanda) atau
“dto” (ditandatangani oleh), lalu dibawahnya dilegalisir (ditandatangani oleh
pejabat yang berwenang pada pengadilan itu dan dibubuhi stempel).
Salinan putusan akan diberikan kepada
pihak-pihak atau akan dikirim ke tingkat banding (kalau terjadi banding dan
untuk laporan) atau akan dikirim ke Mahkamah Agung (kalau terjadi kasasi atau
peninjauan kembali). Asli Putusan tetap disimpan pada Pengadilan Agama,
disatukan dalam berkas perkara yang sudah diminitur.
Patut diingatkan kembali, jika terjadi
kelainan hakim yang memutus dalam permusyawaratan majelis hakim dengan hakim
yang mengucapkan keputusan maka yang menandatangani pada asli Putusan adalah
hakim-hakim dan panitera sidang pada waktu pengucapan keputusan.
Yang
dimaksud dengan perincian biaya di sini ialah perincian biaya yang tercantum di
bagian kiri bawah dari keputusan, bukan yang tercantum dalam diktum, Yang
tercantum dalam diktum adalah biaya total sedangkan yang disebut terdahulu itu
adalah rinciannya.
Menurut Pasal 90 ayat (1) UU No.7 tahun
1989, rincian biaya tersebut meliputi:
A.
Biaya kepaniteraan dan materai;
B.
Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan pengambil sumpah;
C.
Biaya untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan;
D.
Biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan.
Dulu sebelum berlakunya UU No.7 tahun 1989,
Peradilan Agama masih ragu-ragu dalam mengartikan “biaya perkara”
sehingga pencantumannya pada diktum keputusan berikut rinciannya tidak
sesuai dengan biaya yang nyatanya dipungut/diperlukan.
Perincian
biaya ini perlu agar umum mengetahui jelas biaya perkara yang dimaksudkan,
sekaligus sebagai bahan control.
1. Putusan Sela
Apa yang telah Di muka, adalah
tentang putusan akbir atau eind-vonnis , tetapi sebelum sampai kepada putusan
akhir kadang-kadang majelis harus mengambil putusan sela terlebih dahulu,
karena ada hal-hal yang mengharuskan demikian. Putusan sela ini adayang
menyebutnya interlocutoir dan ada pula yang menyebutnya tussen vonnis.
Perlunya putusan sela ini misalnya:
Jika tergugat mengajukan eksepsi relative pada
siding pertama maka hakim wajib memutusnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan
pemeriksaan atas pokok perkara dan putusan di sini disebut putusan sela. Akan
tetapi, jika majelis hakim mengabul-kan eksepsi tergugat , hal mana berarti
pemeriksaan terhadap pokok perkara akan stop (tidak jadi) berarti putusan sela
di situ akan menjadi putusan akhir, karenanya penggugat boleh naik banding atas
Jika pihak mengajukan keberatan perkaranya
diperiksa oleh hakim atau panitera yang sedang menyidangkan perkaranya karena
hakim atau panitera ada di antaranya yang terhalang oleh peraturan
perundang-undangan untuk menyidangkan perkara itu maka hakim harus mengambil
putusan sela.
Maksud
dari tehalang dalam makalah ini adalah seperti yang tertulis dalam pasal yang
menyebutkan bahwa seorang hakim atau panitera di haruskan mengundurkan diri
dari sidang jika salah satu pihak memiliki hubungan kekeluargaan atau
kekeluargaan
Jika permohonan sita diajukan setelah
siding berjalan maka hakim harus mengambil keputusan sela apakah permohonan
sita tersebut dikabulkan atau ditolak.”
Jika
perkara sedang berlangsung antara dua pihak, salah satu pihak meminta kepada
hakim agar pihak ketiga diikutsertakan ke dalam proses maka hakim harus
mengambil keputusan apakah permohonan itu dikabulkan atau tidak. Begitu juga
kalau ada pihak ketiga yang mengajukan permohonan untuk turut ke dalam proses
yang sedang berjalan (vrijwaring).
Jika seorang istri sedang menggugat suaminya
untuk cerai misalnya tetapi selama sidang sedang berjalan istri memohon ke
Pengadilan Agama agar diizinkan Suami istri tidak tinggal serumah dengan
pertimbangan kemungkinan bahaya yang akan ditimbulkan maka majelis hakim harus
mengambil keputusan sela apakah permohonan tersebut dikabulkan atau ditolak.
Putusan
sela wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum sebagaimana
mengucapkan keputusan akhir sekalipun tidak mesti putusan sela dibuatkan
tersendiri melainkan cukup dalam Berita Acara Sidang.
Terhadap putusan sela tidak dapat dimohonkan
banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir (pokok perkara).
2. Kekuatan Putusan
Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan,
yaitu: (1) kekuatan mengikat (bindende kracht), (2) kekuatan bukti (bewijzende
kracht), dan (3) kekuatan eksekusi (executoriale kracht).
Suatu putusan mempunyai kekuatan mengikat dan
mempunyai kekuatan bukti ialah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan
hokum yang tetap (in kracht). Suatu putusan dikatakan in kracht ialah apabila
upaya hokum seperti verzet, banding , kasasi tidak dipergunakan dan tenggang
waktu untuk itu sudah habis, atau telah mempergunakan upaya hukum tersebut dan
sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah in kracht tidak ada
lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya
dengan alasan-alasan sangat tertentu sekali.
Putusan yang sudah in kracht , sekalipun ada
dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, tidak terhalang untuk
dieksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi.
Suatu
putusan dikatakan mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan cerai. Ia merupakan
bukti otentik terjadinya cerai.
B. Pengertian Penetapan
Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking
(Belanda), yaitu produk pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang
sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan
peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon
untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan.
Karena
penetapan itu muncul sebagai produk pengadilan atas permohonan pemohon yang
tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi
menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan (declaratoire) atau menciptakan
(constitutoire).
1. Bentuk dan Isi
Penetapan
Bentuk
dan isi penetapan hampir sama saja dengan bentuk dan isi putusan walaupun ada
juga sedikit perbedaannya sebagai berikut:
A.
Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat identitas
pemohon. Kalaupun di situ dimuat identitas termohon, tapi termohon disitu
bukanlah pihak.
B.
Tidak akan ditemui kata-kata”berlawanan dengan” seperti pada putusan.
C.
Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang duduk perkaranya” seperti pada
putusan,melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
D.
Amar penetapan paling-paling bersifat declaratoire atau constitutoire.
E.
Kalau pada putusan didahului kata-kata “memutuskan” maka pada penetapan dengan
kata “menetapkan”.
F.
Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon,sedangkan pada putusan dibebankan
kepada salah satu dari pihak yang kalah atau ditanggung bersama-sama oleh pihak
penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan tetap selalu kepada
penggugat atau pemohon.
G.
Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau vrijwaring.
Ketika
membuat penetapan, tentu saja prinsip-prinsip perbedaan ini disesuaikan saja.
2. Kekuatan Penetapan
Putusan
mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun untuk dunia luar
(pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli
warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.
Contoh
penetapan seperti pengesahan nikah bagi keperluan pension Pegawai Negeri Sipil
dari suami-isteri yang tidak ada sengketa antara keduanya, tetapi dulu-dulunya
mereka kawin belum begitu tertib pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta
nikah.
3. Suatu Catatan
Apa
yang terurai pada butir B. 1, 2, dan 3 diatas adalah penetapan dalam bentuk
murni voluntaria . Di lingkungan Peradilan Agama ada beberapa jenis perkara di
bidang perkawinan yang produk Pengadilan Agama berupa Penetapan, ada pemohon
dan termohon, tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk voluntaria murni,
sehingga penetapan di situ harus dianggap putusan, pemohon dan termohon harus
dianggap sebagai penggugat dan tergugat. Dalam hal ini, teori umum penetapan
terurai di B. 1, 2, dan 3 tidak berlaku melainkan diberlakukan teori umum yang
tersebut di A. 1, 2, 3, dan 4 sebelumnya.
C. Produk Khusus
Sebelum
berlakunya UU Nomor 7 tahun 1989, di samping produk Putusan dan
Penetapan, ada produk Pengadilan Agama yang disebut SKT3 (Surat Keterangan
Tentang Terjadinya Talak) sebagai realisasi dari bunyi Pasal 17 PP Nomor
9 tahun 1975. Pasal ini telah dicabut/digantikan oleh Pasal 71 ayat (2)
UU Nomor 7 tahun 1989, sehingga SKT3 sudah bertukar dengan penetapan yang
tidak berlaku banding seperti disebutkan pada Pasal 71 ayat (2) tersebut.
PENUTUP
KESIMPULAN
Setelah
Pengadilan Agama memeriksa perkara maka ia harus mengadilinya atau memberikan
putusan dan mengeluarkan produknya. Produk Pengadilan Agama sejak berlakunya UU
Nomor 7 tahun 1989 hanya 2 macam, yaitu: (1) putusan dan (2) penetapan.
Sebelumnya ada produk ke (3) yaitu surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak
(SKT3) , yang kini tidak ada lagi.
Adapun pengertian dari produk-produk peradilan
agama itu adalah
-
Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk Pengadilan
Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu
“penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam ini biasa diistilahkan
dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdiction cententiosa
-
Penetapan disebut al-isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu produk
pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang
diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang
sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan
tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
H. Roihan A. Rasyid,S.H., M.A.2010, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta; PT
Raja Grafindo Persada.
Undang-undang
No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dr.
H. Jaenal Arifin, M.Ag, Jejak peradilan Agama Di Indonesia.
Comments
Post a Comment