Penataan kekuasaan kehakiman

A.    Penataan Kekuasaan Kehakiman
Berkenaan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 dan 25 UUD 1945, maka secara umum didalam UU N omor 35 Tahun 1999 diatur tentang:
1.        Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hkum republik indonesia (pasal 1).
2.        Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada, dan dilakukan oleh, badan-badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Sedangkan mahkamah agung merupakan pengadilan negara tertinggi (pasal 2 ayat 1, 3, dan 10).
3.        Peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Rumusan ini berlaku untuk seluruh pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Hal itu sesuai dengan pasal 29 UUD 1945.
4.        Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia; praduga tak bersalah dalam perkara pidana (pasal 4 sampai 8).
5.        Semua pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang hakim, sebagai majelis (pasal 15).
6.        Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain. Demikian halnya semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum (pasal 17 dan 18).
7.        Semua putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding, dan selanjutnya putusan pengadilan tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada  mahkamah agung (pasal 19 dan 20).
8.        Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar hukum tertulis atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 23).
9.        Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang masalah hukum kepada lembaga negara lainnnya apabila diminta (pasal 25)
10.    Mahkamah agung berwenang untuk menguji secara materiil (judicial review). Terhadap peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih rendah daripada undang-undang, dengan alasan bertentangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (pasal 26).
11.    Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat (pasal 27).
12.    Hakim diangkat dan diberhentikan oleh presiden sebagai kepala negara, dengan syarat-syarat dan prosedur tertentu (pasal 30 dan 31).
13.    Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa, sedangkan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dipimpin oleh ketua pengadilan (pasal 33).
14.    Setiap orang yang tersangkut perkara berhak menerima bantuan hukum, dan dalam perkara pidana tersangka berhak meminta bantuan penasihat hukum sejak dilakukan penangkapan dan penahanan (pasal 35).[1]



[1] Cik Hasan Bisri, hal;155-157.

Comments

Popular Posts