Hubungan peradilan agama dengan mahkamah agung dan departemen agama sebelum tahun 1977

HUBUNGAN PERADILAN AGAMA DENGAN MAHKAMAH AGUNG DAN DEPARTEMEN AGAMA SEBELUM TAHUN 1977



A. Hubungan Peradilan Agama dengan Mahkamah Agung sampai tahun 1977

Sebelum Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahkan sebelum dikeluarkannya UU No. 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan-Kekuasaan Pokok Kehakiman, ketika itu yang berlaku adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970. Pasal 10 ayat 1-nya yang menyatakan menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan (a) Peradilan Umum; (b) Peradilan Agama; (c) Peradilan Militer; (d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Adapun mengenai proses penyelengaraan peradilan (lingkungan Peradilan Agama) yang terkait langsung dengan mahkamah agung adalah mengenai upaya hukum kasasi. Tentang kasasi dinyatakan dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa:
“Atas putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada pihak Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang diatur dalam undang-undang ”.
Ketentuan undang-undang inilah yang dipegangi Departemen Agama . Ditbinbapera sehingga dengan edaran No. DIV/Ed/1989/1978 tanggal 01 mei 1978, mempertahankan bahwa dilingkungan peradilan agama putusan tingkat banding adalah putusan akhir, artinya di lingkungan Peradilan Agama tidak ada kasasi karena undang-undang untuk itu belum diterbitkan/ belum lahir. Sedang dipihak MahakamahAgung berpendapat bahwa hal-hal dilapangan yang berkaitan dengan hukum acara, yang kalau dirasakan kebutuhannya, Mahkamah Agung berwenang mengaturnya yang selama ini diberi bentuk peratuan-peraturan Mahkamah Agung. Dasar kewenangan ini adalah Pasal 131 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950.9
Pihak Mahkamah Agung tetap bersikukuh tanpa Undang-Undang yang dikehendaki oleh Pasal 20 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kasasi bisa dijalankan dengan peraturan Mahkamah Agung. Sebagai tindak lanjut pendirian tersebut, Mahakamah Agung pada tanggal 26 November 1977 mengeluarkan peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977 tentang jalan pengadilan dalam pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata dan perkara pidana oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer.
Dan pada hari yang sama yakni 26 November 1977, Mahkamah Agung mengeluarkan edaran no. 4 tahun 1977, perihal pelaksanaan jalan pengadilan pemeriksaan kasasi dalam perkara perdata dan pidana di Peradilan Agama dan Peradilan Militer. Maka dengan keluarnya peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1977 permohonan kasasi dari pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan militer sudah dapat diajukan kepada Mahkamah Agung untuk dapat diselesaikan sebagaimana mestinya.


Sehingga Departemen Agama c.q. Ditbinpera pada tanggal 26-06-1977 mengeluarkan edaran No. EV/Ed/1966/1979 yang isinya mencabut edaran No. DIV/Ed/1989/1978 tanggal 01 mei 1978. Edaran EV/Ed/1966/1979 ini berisi 9 poin. Dari 9 poin ini menjelaskan bahwa edaran ini mencabut edaran 01 mei 1978 dan selanjutnya dalam menangani perkara kasasi dikirim ke Mahakamah Agung.
Sejak inilah upaya hukum terakhir bagi para pihak yang mohon keadilan dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Sejak terbukanya pintu kasasi dari perkara-perkara Peradilan Agama tersebut, maka menurut pakar hakim semakin tampak keluar, bahwa lembaga Peradilan Agama adalah lembaga yang setaraf dengan pengadilan-pengadilan lain, yang semua lingkungan peradilan tersebut adalah pemegang kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945.
Setelah kasasi dijalankan sebagaimana layaknya, maka pembinaan hubungan Departemen Agama dan Mahkamah Agung mengambil bentuk kongkrit (dengan Direktur Peradilan Agama yang baru), dalam bentuk raker.
Langkah pertama yang diadakan adalah rapat kerja bersama, rapat kerja bersama ini yang pertama kalinya dalam sejarah Peradilan Agama di Indonesia yang dihadiri oleh pihak Mahkamah Agung, Departemen Agama dan Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia. Dalam raker tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan. Diantaranya yaitu:
1. Tentang pelaksanaan tugas pengawasan, (a) Pengadilan Tinggi Agama bersedia/sanggup sebagai pelaksana pengawasan di daerah masing-masing, (b) agar pelaksanaan pengawasan tersebut berjalan dengan baik perlu adanya Juklak oleh Mahakamah Agung.
2. (a) dirasa perlu adanya ahli-ahli hukum Islam di Mahkamah Agung, (b) perkara-perkara nikah, talak, cerai, rujuk (NTCR) perlu diberi prioritas penyelesaiannya, (c) perlu segera dikeluarkan Juklak tentang prosedur penyampaian berkas perkara oleh Mahakamah Agung.
Selanjutnya pada tahun 1982 diadakan raker bersama yang kedua, Mahakamah Agung, Depertemen Agama, dan Pengadilan Tinggi Agama se-Indonesia pada tanggal 18 dan 19 tahun 1982 di Jakarta. Dalam rapat kerja bersama kedua ini ada beberpa keputusan penting yang diambil, diantaranya yaitu:
Ic.  Sasaran pembinaan Peradilan Agama adalah kesadaran dan kepastian hukum dalam tertib hukum Indonesia.
IIb. Selama Undang-Undang Hukum Acara Peradilan Agama sebagaimana yang dikehendaki UU No. 14 Tahun 1970 belum ada, maka Pengadilan Agama menggunakan peraturan perundang-undangan yang telah ada, aturan-aturan acara yang bersumber pada Al-Qur’an, Hadist, Fikih, dan Kaida fiqiyah. Untuk melengkapi hukum acara tersebut Pengadilan Agama dapat menggunakan hukum acara yang berlaku begi Pengadilan Negeri sebagai pedoman.
IV. a.  Pengawasan Mahakamah Agung terhadap pengadilan dalam lingkungan badan Peradilan Agama pada bidang teknis yuridis, sesuai dengan Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 dalam peraturan lain yang berlaku bagiMahkamh Agung, meliputi : (1) Jalannya peradilan; (2) prestasi kerja hakim agama; (3) perbuatan dan akhlak hakim agama didalam dan diluar dinas.
b.      Sistem pengawasan: (1) pengawasan terhadap jalannya peradilan dilakukan melalui laporan-laporan periodik dan badan Peradilan Agama; (2) pengawasan terhadap prestasi hakim agama dilakukan melalui laporan-laporan periodik dan insidential; (3) pengawasan terhadap ahlak hakim agama dilakukan secara insidential.
c.       Agar pengawasan di bidang yuridis dapat berjalan lebih efektif maka pengadilan tinggi agama diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Agama yang ada didalam daerah hukumnya. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama langsung dilakukan oleh Mahakamh Agung.
Kondisi tersebut berjalan lama walaupun pembinaan administrasi dan financial dilakukan oleh Departemen Agama sesuai kehendak UU No. 14 Tahun 1970.

Comments

Popular Posts