Sejarah perkembangan klasifikasi atau taksonomi



Sejarah Perkembangan Sistem Klasifikasi

Sejarah perkembangan klasifikasi atau taksonomi ini mengalami beberapa fase yang masing-masingnya mempunyai dasar dan warna tersendiri.
1.      Periode tertua (Prasejarah hingga Abad ke-4 SM)
Secara formal dalam periode ini belum dikenal adanya sistem klasifikasi yang diakui. Namun sejak dulu manusia sudah melakukan kegiatan-kegiatan yang termasuk ruang lingkup taksonomi, seperti mengenali dan memilah-milah tumbuhan yang mana baginya yang berguna dan yang mana yang tidak, termasuk pemberian nama, yang kemudian dikomunikasikan kepada pihak lain. Pada zaman prasejarah orang telah mengenal tumbuh-tumbuhan penghasil bahan pangan yang penting yang kita kenal sampai sekarang. Jenis-jenis tumbuhan itu diperkirakan telah dikenal sejak 7 sampai 10 ribu tahun yang lalu, telah dubudidayakan oleh bangsa Mesir yang mendiami lembah Sungai Nil bagian hilir di Afrika, bangsa inca di Asia Timur, bangsa Asiria di lembah Sungai Efrat dan Tigris di Timur Tengah, dan bangsa-bangsa Indian di Amerika Utara dan Amerika Selatan. Mereka telah mengenal berbagai jenis tumbuhan yang merupakan penghasil bahan pangan, bahan sandang, dan bahan obat, yang berarti sebenarnya mereka pun telah menerapkan suatu sistem klasifikasi, dalam hal ini suatu sistem klasifikasi yang didasarkan atas manfaat tumbuhan. Oleh karenanya pada periode ini dinamakan Periode Sistem Manfaat, yang dianggap sebagai sistem buatan yang tertua.

2.        Periode Sistem Habitus (± abad ke-4 SM – abad ke-17 M)
Pada periode ini dikenalah ilmu taksonomi tumbuhan sebagai ilmu pengetahuan baru yang dipelopori oleh orang-orang Yunani seperti Theophrastes (370 – 285 SM) murid seorang filsuf yunani Aristoteles. Aristoteles sendiri murid seorang filsuf yunani Plato. Theophrastes mengklasifikasian tumbuhan berdasarkan habitus (perawakan). Sistem klasifikasi yang diusulkan bangsa yunani yang dipelopori Theophrastes ini diikuti oleh kaum herbalis, dan ahli-ahli botani, dan nama itu terus dipakai sampai selama lebih 10 abad. Pengklasifikasian tumbuhan berdasarkan habitus (perawakan), membagi tumbuhan ke dalam 5 golongan yaitu pohon, perdu, semak, tumbuhan memanjat, dan terna. Theophrastes-lah yang pertama mengelompokan tumbuhan menurut umur yaitu tumbuhan berumur pendek (anual), tumbuhan berumur 2 tahun (bienial), dan tumbuhan berumur panjang (perenial). Beberapa tokoh yang ikut memainkan peran dalam periode ini antara lain yaitu Plinius (23 – 79 M), O.Brunfels (1464 – 1534 M), J. Bauhin (1560 – 1624 M), R. Morison (1620 – 1683).
Pada zaman ini telah dimulai berupa ilmu, sudah muncul karya tulis tentang hewan dan tumbuhan, mempunyai dasar yang mantap. Tetapi belum terorganisir, sehingga muncul suatu organisme sejenis dengan bermacam-macam nama (sebutan) dan jenis yang sama mempunyai nama yang berbeda.

3.      Periode Sistem Numerik (± awal abad ke-18 M)
Tidak seperti pada periode sebelumnya dimana tumbuhan di klasifikasikan berdasarkan bentuk dan strukturnya, pada periode ini pengklasifikasian tumbuhan berdasarkan hubungan kekerabatan antara tumbuhan. Pada periode ini tokoh yang paling menonjol adalah Karl Linne (Carolus Linnaeus) (1707 – 1228 M). Dia menciptakan klasifikasi tumbuhan berdasarkan sistem seksual yaitu berdasarkan kesamaan jumlah alat-alat kelamin, antara lain jumlah benang sari seperti Monandria (berbenang sari tunggal), Diandria (berbenang sari dua) Triandria (berbenang sari tiga) dan seterusnya. Itulah sebabnya sistem klasifikasi tumbuhan ciptaan Linnaeus ini dikenal pula sebagai Sistem Numerik. Linnaeus juga dianggap sebagai pencipta sistem tata nama ganda dalam bukunya Species Plantarum walaupun sebenarnya sistem tata nama ganda tersebut sudah rintis oleh Casper Bauhin dalam bukunya Pinax Theatri Botanici. Tetapi karena mungkin Linnaeus-lah yang pertama seara konsisten menggunakan nama ganda itu untuk jenis tumbuhan dalam bukunya Species Plantarum tadi, nama Bauhin menjadi tersisihkan. Beberapa tokoh-tokoh yang ikut berperan pada periode ini antara lain Peter Kalm (1716 – 1779 M), J.A. Murray (1740 – 1791 M), J. Schultes (1773 – 1831 M).  

4.      Periode sistem alam (± akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19)
Menjelang berakhirnya abad ke-18 mulailah terjadi perubahan-perubahan yang revolusioner dalam pengklasifikasian tumbuhan. Sistem klasifikasi yang baru ini disebut “sistem alam” dalam arti bahwa golongan-golongan yang terbentuk merupakan unit-unit yang wajar (natural) bila terdiri atas anggota-anggota itu, dan dengan demikian dapat tercermin pengertian manusia mengenai yang disebut apa yang dikehendaki oleh alam. Secara harfiah istilah “sistem alam” untuk aliran baru dalam klasifikasi ini sebenarnya tidak begitu tepat, mengingat sistem yang manapun dengan menerapkan dasar apapun, tetap merupakan ciptaan orang, sehingga pada hakekatnya semua sistem klasifikasi adalah sistem buatan. Beberapa tokoh yang berperan pada periode ini antara lain J.B. de Lamarck (1744 – 1829 M), orang yang menulis buku Flora Francoise yang ditulis berupa kunci untuk mengidentifikasi tumbuh-tumbuhan di Perancis. Lamarck juga dianggap sebagai salah satu perintis lahirnya teori evolusi. Teorinya yang dikenal dengan nama “Lamarckisme”, yang menyatakan bahwa perubahan lingkungan dapat mengubah struktur organisme. Tokoh lain seperti Robert Brown (1773 – 1858 M), G. Bentham (1800 – 1884 M), J.D. Hooker (1917 – 1911 M).

5.      Periode sistem filogenetik
Pertengahan abad ke-19 hingga sekarang Sistem klasifikasi dalam periode ini berupaya untuk mengadakan penggolongan tumbuhan yang sekaligus juga menerminkan urutan-urutan golongan itu dalam sejarah perkembangan filogenetiknya dan dengan demikian juga menunjukkan jauh dekatnya hubungan kekarabatan antara golongan yang satu dengan yang lain. Jadi dalam klasifikasi ini dasar yang digunakan adalah “filogeni” dan dari sini lahirlah nama “sistem filogenetik”. Beberapa ahli taksonomi tumbuhan yang berperan pada periode ini antara lain, Alexander Braun (1805 – 1877 M), A.W. Eihler (1839 – 1887 M), Adolph Engler (1844 – 1930 M), C.E. Bessey (1845 – 1915 M).
Setelah munculnya teori evolusi, maka klasifikasi dilakukan tidak hanya berdasarkan persamaan strukturnya saja, tetapi juga berdasarkan atas asumsi bagaimana suatu bentuk kehidupan itu berasal atau berevolusi dari bentuk kehidupan yang lain. Di dalam teori evolusi sebenarnya telah termaktub suatu gagasan bahwa organisme yang mempunyai struktur yang sama mempunyai hubungan kekerabatan yang erat. Jadi persamaan struktur tetap dipergunakan sebagai dasar pengelompokkan. Perbedaannya adalah sekarang ini orang menginterprestasikan persamaan tersebut berdasarkan teori evolusi. Klasifikasi yang memasukkan teori evolusi ini disebut klasifikasi filogeni.
6.      Periode sistem klasifikasi kontemporer (abad ke-20)
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat dalam abad ke-20 telah berpengaruh terhadap perkembangan ilmu taksonomi tumbuhan. Kecenderungan untuk mengkuantitatifkan data penelitian dan penerapan matematika dalam pengolahan data yang diperoleh telah menyusup pula ke dalam ilmu-ilmu social yang semula tak pernah atau belum memanfaatkan matematika serta belum mempertimbangkan pula kemungkinan-kemungkinan yang dapat dicapai dengan penerapan pendekatan kuantitatif matematik. Sekarang ada kecenderungan untuk menganggap bahwa penerapan metode kuantitatif sajalah yang dapat menjamin hasil penelitian yang cermat dan dapat diperaya. Perkembangan teknologi, khususnya di bidang elektronika, yang dalam abad nuklear maju dengan pesat ini, telah pula menjamah bidang taksonomi tumbuhan, yang sejak beberapa dasawarsa belakangan ini juga sudah menerapkan metode penelitian kuantitatif yang pengolahan datanya menggunakan komputer. Dari sinilah melahirkan bidang baru dalam taksonomi tumbuhan yang dikenal sebagai taksonomi numerik, taksometri, atau taksonometri. Pengolahan data secara elektronik juga sudah diterapkan untuk berbagai prosedur dalam penelitian taksonomi. Taksonomi numerik (dalam arti bukan yang diteorikan oleh Linnaeus) didefinisikan sebagai metode evaluasi kuantitatif mengenai kesamaan atau kemiripan sifat antar golongan organisme, dan penataan golongan-golongan itu melalui suatu analisis yang dikenal sebagai ”analisis kelompok” ke dalam kategori takson yang lebih tinggi atas dasar kesamaan-kesamaan tadi.


Sejarah Tata Nama Tumbuhan

Penamaan pada masa lalu lebih bersifat deskripsi dari suatu tumbuhan karena berisi kata-kata ungkapan untuk menggambarkan ciri tumbuhan yang dimaksud. Oleh karena itu, sistem penamaan bersifat polinomial, yaitu terdiri atas tiga atau lebih kata. Sebagai contoh: Solanum pomiferum fructu rotundo striato molli, yang berarti tumbuhan solanum yang buahnya lebat, bentuknya bulat, beralur dan lunak. Bisa dibayangkan betapa rumitnya untuk berkomunikasi dengan nama yang panjang seperti ini. Berdasarkan hal ini para ahli botani berusaha untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem penamaan tersebut untuk mempermudah komunikasi. Sejak tahun 1753 sistem polynomial digantikan dengan binomial sejak publikasi “System Plantarum” oleh Carolus Linnaeus dan berlaku secara internasional. Sistem binomial yaitu sistem penamaan dimana nama jenis terdiri dari dua kata, kata pertama adalah nama genus dan kata kedua merupakan penunjuk jenis atau spesies. Contoh:  Zea mays.
Dalam ketentuan KITB pemberian nama pada tumbuhan harus menggunakan nama ilmiah. Nama ilmiah adalah ”nama-nama dalam bahasa yang diperlakukan sebagai bahasa Latin, tanpa memperhatikan dari bahasa mana asalnya kata yang digunakan untuk nama tadi”. Salah satu keuntungan nama ilmiah ialah bahwa penentuan, pemberian atau cara pemakaiannya untuk setiap golongan tumbuhan dapat dilakukan berdasarkan suatu aturan atau sistem tatanama. Nama ilmiah sifatya universal sehingga dalam pemberian nama suatu tumbuhan dapat dimengerti oleh setiap negara.
Sistem binomium mempunyai aturan atau hukum-hukum tertentu yang harus diterapkan selama sistem itu binomial, hukum-hukum lain yang harus diterapkan adalah international rule of botanical nomenclature. Prinsip dan Peraturan Tatanama Tumbuhan tersebut antara lain :
1.      Tatanama botani tidak berhubungan dengan tata nama zoologi. Nama yang sama yangdiberikan pada tumbuhan bisa juga digunakan ahli zoologi pada hewan.
2.      Pelaksanaan penamaan di dalam kelompok taksonomi ditentukan dengan menggunakan tipe tata nama. Tipe untuk famili adalah genus, tipe untuk genus adalah jenis, tipe untuk jenis adalah spesimen dan seterusnya.
3.      Tata nama dari kelompok taksonomi haruslah berdasar pada prioritas publikasi, dan nama yang benar adalah nama yang telah dipublikasi terlebih dahulu dan mengacu pada aturan-aturan. Tata nama yang telah dipublikasikan lebih dulu harus dipakai sebagai dasar pada publikasi berikutnya.
4.      Setiap kelompok taksonomi, batasannya, posisinya dan urutannya bisa membuat satu nama yang benar. Nama ilmiah kelompok taksonomi disajikan dalam bahasa Latin tanpa menghiraukan asalnya.
5.      Aturan untuk penamaan genus dan penunjuk jenis sama juga dengan yang lain harus dalam bahasa Latin.
6.      Aturan tata nama adalah berlaku surut kecuali hal-hal yang kecil.
7.      Suatu nama yang sah tidak boleh ditolak karena alasan tidak disukai atau karena kehilangan arti aslinya. Contoh: Hibiscus rosa-sinensis, aslinya bukan di Cina. Perubahan nama hanya boleh dilakukan bila sudah betul-betul diteliti taksonominya.

Komposisi Nama Ilmiah
Nama ilmiah suatu jenis merupakan penggabungan 3 hal, yaitu sebagai berikut:
1.      Genus, yang ditulis dengan awalan huruf besar.
2.      Spesies, yang ditulis dengan awalan huruf kecil dan penulisannya terletak dibelakang genus serta dengan huruf miring (jika diketik) dan digaris bawahi (jika ditulis tangan).
3.      Author adalah singkatan dari nama penulis binomial yang ditulis setelah nama spesies dengan menggunakan huruf besar. Tujuan pencantuman nama author adalah supaya penunjukan nama suatu takson tepat dan lengkap serta memudahkan penelitian tentang kebasahan nama.
Contoh : Musa paradisiaca, L. (Linnaeus) yang dalam bahasa indonesia disebut pohon pisang.

Comments

Popular Posts