Pengertian Dan Unsur Unsur Tindak Pidana
PENGERTIAN DAN UNSUR-UNSUR
TINDAK PIDANA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehidupan manusia tidak pernah lepas dari
persinggungan atau interaksi antar sesama. Karena bagaimanapun manusia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya.
Sudah
merupakan sifat dasar manusia untuk bertidak egois. Sehingga apabila sifat
tersebut terus menerus dibiarkan, maka yang terjadi adalah ketidak beraturan
yang menyebabkan kehancuran.
Oleh
karenanya manusia membutuhkan aturan-aturan yang mengatur hak dan kewajiban
satu antar lainnya. Demi mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahterah. Sesuai
dengan saran tujuan KUHP nasional
“Untuk
mencegah penghambatan atau penghalang-halangan datangnya masyarakat yang
dicita-citakan oleh bangsa indonesia, yaitu dengan jalan penentuan
perbuatan-perbuatan manakah yang pantang dan tidak boleh dilakukan, serta
pidana apakah yang diancamkan kepada mereka yang melanggar larangan-larangan
itu..”
Perbuatan pidana merupakan
perbuatan yang merugikan masyarakat. Sehingga sudah selayaknya kita tidak
melakukan hal tersebut.
Bila kita
ingin menjauhi sesuatu, maka kita harus mengetahui dulu apakah itu. Sehingga
dikemudian hari kita tidak salah dalam memilih sebuah perbuatan. Maka dirasa
penting bagi kami untuk mengankat judul “Pengertian dan Unsur-Unsur Perbuatan
Pidana”.
B. Rumusan masalah
1. Apakah itu perbuatan pidana?
2. Apakah unsur-unsur perbuatan pidanayang disepakati oleh para sarjana?
3. Adakah unsur-unsur perbuatan pidana yang tak disepakati oleh para
sarjana?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi perbuatan pidana.
2. Memahami unsur-unsur perbuatan pidana yang disepakati oleh para sarjana.
3. Mengetahui unsur-unsur perbuatan pidana yang tak disepakati oleh para
sarjana.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbuatan
Pidana
Pengertian perbuatan pidana adalah
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana disertai
ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut. Dapat
juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan
hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa
larangan ditunjukkan kepada perbuataan, (yaitu suatu keadaan atau kejadiaan
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditunjukkan
kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. Antara larangan dan
ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kajadian dan orang
yang menimbulkan kejadian itu, ada hubungan yang erat pula. Dan justru untuk
menyatakan hubungan yang erat itu; maka dipakailah perkataan perbuatan, yaitu
suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit: pertama,
adanya kejadian yang tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat, yang
menimbulkan kejadian itu.;/span>
Ada lain istilah yang dipakai
dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari
pihak kementrian kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undanagan. Meskipun
kata “tindak” lebih pendek dari ”perbuatan” tapi “tindak “ tidak menunjukkan
pada suatu yang abstrak seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan perbuatan
konkrit, sebagaimana halnya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak
adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang . Oleh
karena tindak sebagai kata tidak begitu dikenal, maka dalam perundang-undangan
yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasal sendiri, maupun
dalam penjelasannya hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.
Contoh: U.U no. 7 tahun 1953 tentang pemilihan umum
(pasal 127, 129 dan lain-lain
Menurut Prof. Dr. Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunyaasas-asas hukum pidana di indonesia memberikan
definisi “ tindak pidana”atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang
sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia. Ada istilah
dalam bahasa asing, yaitu delict.
Tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat
dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.
Sedangkan dalam buku Pelajaran
Hukum Pidana karya Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak
pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda
yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti
dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keragaman pendapat.
Istilah-istilah yang pernah
digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dari berbagai literatur
hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit adalah:
1. Tindak pidana, berupa istilah resmi dalam
perundang-undangan pidana kita dan hampir seluruh peraturan perundang-undangan
kita menggunakan istilah ini.
2. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa
ahli hukum misalnya, Mr. R. Tresna dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana.Dan
para ahli hukum lainnya.
3. Delik, berasal dari bahasa latin “delictum”
digunakan untuk menggambarkan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Istilah
ini dapat dijumpai di beberapa literatur, misalnya Drs. E. Utrect, S.H.
4. Pelanggaran Pidana, dijumpai dibeberapa buku
pokok-pokok hukum pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini
digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya”Ringkasan tentang Hukum Pidana”.
6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan dalam
pembentukan undang-undang dalam UUD No. 12/Drt/1951 tentang senjata api dan
bahan peledak (baca pasal 3).
7.
Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatnomdalam beberapa tulisan
beliau.
B. Unsur Unsur Perbuatan Pidana yang Disepakati Oleh Para Sarjana
Pada
hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah
(fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya.Sebuah perbuatan tidak bisa begitu saja dikatakan perbuatan pidana.
Oleh karena itu, harus diketahui apa saja unsur atau ciri dari perbuatan pidana
itu sendiri.
Ada begitu
banyak rumusan terkait unsur-unsur dari perbutan pidana. Setiap sarjana
memiliki perbedaan dan kesamaan dalam rumusannya. Seperti Lamintang yang
merumuskan pokok-pokok perbuatan pidana sejumlah tiga sifat. Wederrechtjek
(melanggar hukum), aan schuld te wijten (telah dilakukan dengan sengaja
ataupun tidak dengan sengaja), dan strafbaar (dapat dihukum).
Duet
Cristhine-Cansil memberikan lima rumusan. Selain harus bersifat melanggar
hukum, perbuatan pidana haruslah merupakan Handeling (perbuatan
manusia), Strafbaar gesteld (diancam dengan pidana), toerekeningsvatbaar
(dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab), dan adanya schuld
(terjadi karena kesalahan).
Sementara
itu, trio Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris merumuskan empat hal pokok dalam
perbuatan pidana. Seperti yang terlihat dalam definisinya sendiri. Perbuatan
pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang lingkup rumusan
delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela Sehingga perbuatan pidana mengandung
unsur Handeling (perbuatan manusia), termasuk dalam rumusan delik, Wederrechtjek
(melanggar hukum), dan dapat dicela.
Tidak jauh
berbeda dengan berbagai rumusan diatas. Moelyatno menyebutkan bahwa perbuatan
pidana terdiri dari lima elemen. Yaitu kelakuan dan akibat (perbuatan), Hal
ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan
pidana, unsur melawan hukum yang subjektif, dan unsur melawan hukum yang
objektif.
Dari
kesemua rumusan diatas dapat kita lihat bahwa ada beberapa kriteria yang satu
atau dua bahkan semua sarjana lenyebutkannya. Pertama, unsur melanggar hukum
yang disebutkan oleh seluruh sarjana. Kedua, unsur “perbuatan” yang
disebutkan oleh seluruh sarjana kecuali Lamintang. Selebihnya para sarjana berbeda
dalam penyebutannya.
1. Handeling (perbuatan manusia)
Mekipun
lamintang tidak menyebutkan perbuatan manusia sebagai salah satu unsur
perbuatan pidana. Namun, secara tidak langsung ia juga mengakui perbuatan
manusia sebagai bagian dari perbuatan pidana.
Jika kita
berusaha untuk menjabarkan sesuatu rumusan delik ke dalam unsur-unsurnya, maka
yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia
Handeling yang
dimaksudkan tidak saja een doen (melakukan sesuatu) namun juga een nalaten
atau niet doen (melalaikan atau tidak berbuat). juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah
perbuatan badan hukum.
Penjelasan terkait melakukan
sesuatu dan tidak berbuat atau tidak melakukan sesuatu dapat dijelaskan dengan
menggambarkan perbedaan antara kelakuan seorang pencuri dan kewajiban seorang
ibu. Seorang pencuri dapat dipidana dikarenakan ia berbuat sesuatu. Dalam hal
ini seperti yang dirumuskan dalam pasal 362 KUHP
Barang
siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang
lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena
pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah.
Terlihat dari pasal tersebut,
seorang dapat diancam karena pencurian disebabkan oleh perbuatan mengambil
barang. Inilah yang disebut sebagai een doen (melakukan sesuatu).
Seorang ibu yang tidak memberi
makan kepada anaknya yang masih bayi sehingga anak itu meninggal dunia. Kini,
ibu itu dapat dipersalahkan melakukan pembunuhan dari pasal 338 KUHP.ibu
tersebut tidak diancam karena pembunuhan yang diakibatkan oleh ketidak
berbuatannya. Inilah yang dikenal sebagai een nalaten atau niet doen.
Perlu diingat, bahwasannya ibu
tersebut dapat dipidana dikarenakan ia memiliki kewajiban untuk merawat
anaknya. Hal tersebut berdasar pada pasal 298 KUHPdt. Masalah ini haruslah di
jelaskan demi membatasi cakupan subjek perbuatan pidanan.
Kalau seorang anak mati karena
tidak diberi makan, maka dapat dikatakan bahwa semua orang yang tidak mencegah
kelaparannya, merapas nyawa anak itu. Dengan demikian lingkuangan pembuat tidak
dibatasi. Yang dapat dipidana hanya tidak adanya perbuatan yang diwajibkan oleh
undang-undang.
2. Wederrechtjek (melanggar hukum)
Terkait dengan sifat melanggar hukum, ada empat
makna yang berbeda-beda yang masing-masing dinamakan sama Maka haruslah dijelaskan ke-empat-nya.
a. Sifat melawan hukum formal
Artinya bahwa semua bagian atau rumusan (tertulis)
dalam undang-undang telah terpenuhi. Seperti dalam pasal 362 KUHP tentang
pencurian. Maka rumusannya adalah
1) Mengambil barang orang lain
2) Dengan maksud dimiliki secara melawan hukum
b. Sifat melawan hukum materil
Artinya perbuatan tersebut telah merusak atau
melanggar kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tersebut.
Kepentingan yang hendak dilindungi pembentuk undang-undang itu dinamakan
“kepentingan hukum”.
Seperti
dipidananya pembunuhan itu demi melindungi kepentingan hukum berupa nyawa manusia. Pencurian diancam pidana
karena melindungi kepentingan hukum yaitu kepemilikan.
c. Sifat melawan hukum umum
Sifat ini sama dengan sifat melawan hukum secara
formal. Namun, ia lebih menuju kepada aturan tak tertulis. Dalam artian ia
bertentangan dengan hukum yang berlaku umum pada masyarakat yaitu keadilan.
d. Sifat melawan hukum khusus
Dalam undang-undang dapat ditemukan
pernyataan-pernyataan tertulis terkait melawan hukum. Seperti pada rumusan
delik pencurian “...dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum..”.
Meskipun pada rumusan perbuatan pidana lainnya tidak ditemukan adanya pernytaan
tersebut. Dicontohkan dengan pasal 338 KUHP
Barang
siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Seperti yang terlihat dari rumusan pencurian, sifat
perbuatan pengambilan saja tidaklah cukup untuk menyifati sebuah pencurian. Ia
baru disebut mencuri bila memiliki maksud untuk memiliki secara melawan hukum.
Sehingga, bila seorang mahasiswa mengambil buku mahal dari kamar temannya.
Tidaklah berarti bahwa dia berbuat melawan hukum. Ini tergantung dari apakah ia
telah mendapat izin dari si pemilik atau tidak.
Selain itu, sifat melawan hukum dilihat dari sumber
perlawanannya terbagi menjadi dua. Pertama, unsur melawan hukum yang
objektif yaitu menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai
perbuatan. Hal ini digambarkan pada pasal 164 ayat 1 KUHP
(1) Barang
siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang
dipakai orang lain dengan me- lawan hukum atau berada di situ dengan melawan
hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan
segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Hal yang menjadi tuntutan atau larangan disitu ialah
keadaan ekstern dari si pelaku. Yaitu tidak dizinkan atau dalam istilah di atas
“dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera”.
Maka ia melanggar atau melawan hukum yang objektif.
Kedua, unsur melawan hukum yang subjektif yaitu yang
kesalahan atau peanggarannya terletak dihati terdakwa sendiri. Seperti rumusan
pencurian yang mencantumkan maksud pengambilan untuk memiliki barang secara
melawan hukum.
Selain
kedua rumusan yang disepakati oleh banyak sarjana diatas. Masih ada begitu
banyak rumusan lain yang muncul dari setiap sarjana. pada pembahasan
selanjutnya kami akan mencoba menjabarkan beberapa unsur-unsur atau
rumusan-rumusan tersebut.
C. Unsur Unsur Perbuatan Pidana yang Tidak Disepakati Oleh Para Sarjana
1. Schuld (kesalahan)
Tidak mengetahui atau tidak memahami akan adanya
perundang-undangan bukanlah alasan untuk mengecualikan penuntutan atau bahkan
bukan pula alasan untuk memperingan hukuman. Asas “setiap orang dianggap tahu
isi undang-undang” menekankan pentingnya mengetahui hukum. Sehingga seseorang
tidak dengan mudah mengelak dari pelanggaran hukum dengan alasan tidak paham
hukum.
Dengan berdasarkan asas tersebut, maka seorang
dunilai berbuat kesalahan ketika melanggar hukum. Sedangkan secara mendasar
dalam kesalahan ada dua pembagian, yaitu Pertama, opzet (kesengajaan)
dan kedua, Culpa (kurang berhati-hati atau kelalaian).
Cansil-christine
membagi kesalahan kedalam empat kategori. Pertama, Doluis(kesengajaan)
yang sama artinya dengan opzet. Kedua, Culpa (alpa, lalai).
Ketiga, dolus generalis (kesengajaan tak tentu). Keempat, Aberratio
Ictus (salah kena). Berikut akan kami paparkan satu persatu secara singkat.
a. Dolus
Seperti dikemukakan diatas, dolus memiliki
arti yang sama dengan opzet yaitu kesengajaan. Perlu diketahui bahwa
kitab undang-undang hukum pidana tidak merumuskan apa yang dimaksud dengan
kesengajaan.
Dalam hal ini pasangan cansil merumuskan bahwa
kesengajaan merupakan suatu niat atau i’tikad diwarnai sifat melawan hukum,
kemudian dimanifestasikan dalam sikap tindak.
Biasanya
diajarkan bahwa kesengajaan itu tiga macam. Pertama, kesengajaan yang bersifat
suatu tujuan untuk mencapai sesuatu. Kedua, kesengajaan yang bukan mengandung
suatu tujuan, melainkan keinsyafan suatu akibat pasti akan terjadi. Ketiga,
kesengajaan disertai dengan keinsyafan akan adanya kemungkinan.
b. Culpa
Culpa atau ketidak sengajaan ialah
berarti kesalahan pada umumnya.Maka seorang hakim tidak bisa mengukur ketidak
sengajaan atau kelalaian berdasar pada dirinya sendiri, melainkan melihat
bagaimana hal umumnya pada masyarakat.
Ketidak sengajaan dibedakan antara ketidak sengajaan
yang disadari dan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari bermakna
menimbulkan delik tau perbuatan pidana secara sadar dan telah berusaha untuk
menghalangi, akan tetapi terjadi juga. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari
bermakna orang melakukan suatu delik tanpa membayangkan akibat yang terjadi
atau tidak mengetahuinya.
c. Dolus generalis
Hal yang mebedakan antara dolus generalis dan dolus
atau opzet ialah dari tujuannya. Bila dolus dan opzet memiliki satu tujuan yang
pasti, maka dolus generalis tak memiliki tujuan yang pasti.
Digambarkan dengan seseorang yang meracuni pusat air
minum dengan maksud agar semua orang yang meminum air tersebut akan terbunuh.
Tidak melihat siapa yang terbunuh.
d. Aberratio Ictus
Seperti makna katanya, salah kena berarti akibat
tidak sesuai dengan tujuan. Contoh sederhana seseorang yang akan menembak
burung meleset dan mengenai manusia.
Terkait penjelasan macam kesengajaan ini, insya
Allah akan didapati pada makalah kelompok ke-6.
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Van hamel membagi hal ihwal ini menjadi dua.
Pertama, mengenai diri orang yang melakukan perbuatan. Dicontohkan dengan pasal
413 KUHP mengenai kejahatan jabatan.
Seorang
komandan Angkatan Bersenjata yang menolak atau sengaia mengabaikan untuk
menggunakan kekuntan di bawah perintahnya, ketika diminta oleh penguasa sipil
yang berwenang menurut undang-undang, diancam dengan pidana penjara lama empat
tahun.
Dalam
kejahatan ini haruslah ada unsur jabatan, sehingga tanpa adanya unsur ini maka
tidak mungkin terjadi*kejahatan tersebut.
Kedua, mengenai di luar diri si pelaku. Seperti
pasal 160 KUHP terkait pengahsutan.
Barang
siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan
perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak
menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diherikan
berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Kejahatan
tersebut memiliki unsur di muka umum. Maka tanpa adanya unsur ini kejahatan
tersebut tak bisa dikatakan terjadi.
PENUTUP
KESIMPULAN
Perbuatan
pidana adalahperbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang mana
disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut. Ada lain istilah yang dipakai dalam hukum pidana,
yaitu “tindak pidana”. Istilah ini, karena timbulnya dari pihak kementrian
kehakiman, sering dipakai dalam perundang-undanagan. Adanya perbedaan pendapat
mengenai penggunaan kata “tinad pidana” atau “perbuatan pidana”. Ada juga
istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada
maupun dari berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaar
feit adalah: Tindak Pidana, Peristiwa Pidana, Delik, Pelanggaran Pidana,
Perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan perbuataan
pidana.
Perbuatan
pidana memiliki beberapa unsur yang tanpa kehadiran unsur tersebut maka
perbuatan pidana tidaklah bisa disebut sebagai delik atau perbuatan pidana.
Pertama, perbuatan pidana merupakan perbuatan manusia. Kedua, bersifat melawan
hukum. Kedua unsur inilah yang disepakati oleh hampir seluruh sarjana hukum.
Selain itu
ada beberapa unsur penting yang meski tidak disepakati oleh seluruh sarjana,
namun merupakan bagian penting dari perbuatan pidana. Pertama, kesalahan baik
berupa kesengajaan ataupun kelalaian. Kedua, hal ihwal yang terdapat dalam rumusan
KUHP yang tanpa adanya keadaan tersebut sebuah perbuatan pidana tidak dihitung
pernah terjadi.
Daftar Pustaka
Cansil dan Cristhine Cansil, Pokok-Pokok Hukum
Pidana. Jakarta: Pradnya Paramita, 2007
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung: Sinar Baru, 1992
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:
Rieneka cipta, 2008
Schaffmeister, Keijzer, dan Sutoris, Hukum
Pidana.Yogyakarta: LIBERTY, 1995
Prodjodikoro,Wirjono, Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2008
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana.
Jakarta: PT Grafindo Persda, 2002
Comments
Post a Comment