Ulumul quran

Makalah  Ulumul quran
Hasil gambar untuk ulumul quran
BAB I
PENDAHULUAN
 A.    Latar Belakang
Salah satu penyebab kebangkrutan moral dan kejumudan berpikir  umat Islam adalah ‘sikap bangganya’ untuk meninggalkan al qur’an sebagai suluh dan pembuka akses jalan kehidupan.   Ironis sekali bahwa banyak dari umat islam yang tidak bisa membaca al Qur’an apalagi mendalami dan menelaah al Qur’an sebagai generasi salaf yang secara intensif mengkaji dan menelaah alquran sebagai sumber inspirasi ilmu dan sains.
Umat Islam tidak terkecuali di Indonesi mengalami pasang surut dangat intens dalam merespons ajaran-ajaran agamanya.  Umat Islam perlu digalakkan kembali untuk kembali kepada alquran.  Alquran bukan hanya menjadi pencerah kebeningan moral dan hati, melainkan juga pencerah pemikian dan pengembang peradaban trandensial.   Ajakan untuk kembali kepada alquran (back to quran) harus lebih diintensifkan secara masif dan terarah.  Pendalaman ilmu-ilmu yang membahas seputar alquran akan menjadikan umat  tertarik untuk menengok kembali alquran sebagai referensi kehidupan.
Al-Quran merupakan mukjizat terbesar nabi Muhammad SAW.Diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun uslub-nya. Suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat makna. Kendati al-Quran berbahasa Arab, tidak berarti semua orang Arab atau orang yang mahir dalam bahasa Arab, dapat memahami al-Quran secara rinci. Al-Quran adalah kitab yang agung, memiliki nilai sastra yang tinggi. Meskipun diturunkan kepada bangsa Arab yang lima belas abad lalu terkenal dengan jiwa yang kasar. Al-Quran mampu meruntuhkan dominasi sya’ir-sya’ir Sastrawan Arab, hingga tidak berdaya dihadapan Al-Quran.
Untuk memahami ajaran Islam secara sempurna (kaffah), diperlukan pemahaman terhadap kandungan al-Quran dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten. Hasbi Ash-Shidieqi menyatakan untuk dapat memahami al-Quran dengan sempurna, bahkan untuk menterjemahkannya sekalipun, diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan, yang disebut Ulumul Qur”an.
Ulumul Qur’an memiliki komposisi dan kedudukan yang sangat penting karena ia menjadi pintu gerbang bagi pemahaman al Qur’an yang lebih baik.  Dengan kata lain,  langkah awal yang harus dilakukan untuk dapat memahami al Qur’an dengan utuh dan komprehensif adalah memahami Ulumul Qur’an.
  1. B.     Rumusan Masalah
Dari uraian di atas rumusan masalahnya adalah:
  1. Apakah yang dimaksud dengan Ulumul Qur’an?
  2. Apakah Fungsi dari mempelajari Al Qur’an?
  3. Bagaimana sejrah pertumbuhan dan perkembangan Ulumul Qur’an?
  4. Bagaimana sejarah kodifikasi dan percetakan al Qur’an?
  5. C.    Tujuan Dan Manfaat
    1. Mengetahui cara wahyu Al-Qur’an turun dan diterima oleh Nabi Muhammad SAW, cara  beliau membaca, mengajarkan dan menerangkan tafsiran-tafsiran ayat kepada para sahabat.
    2. Mengetahui sejarah dan perkembangan Ulumul Qur’an
    3. Mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
    4. Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ulumul Qur’an
Secara etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata “ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Menurut bahasa, kata “Al-Qur’an” merupakan bentuk mashdar yang maknanya sama dengan kata “qira’ah” yaitu bacaan. Bentuk mashdar ini berasal dari fi’il madli “qoro’a” yang artinya membaca.
Menurut istilah, “Al-Qur’an” adalah firman Allah yang bersifat mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang dinukil dengan jalan mutawatir dan yang membacanya merupakan ibadah.
Setelah membahas kata “ulum” dan “Al-Qur’an” yang terdapat dalam kalimat “Ulumul Qur’an”, perlu kita ketahui bahwa tersusunnya kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa adanya bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Al-Qur’an atau pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.[1]
Sedangkan menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul Qur’an diantara lain :
Definisi Ulumul Qur’an menurut  Muhammad ‘Ali al-Shabuni:
“Yang dimaksud dengan ‘ulumul qur’an’ ialah rangkaian pembahasan yang berhubungan dengan al-Qur’an yang paling agung lagi kekal, baik dari segi proses penurunan dan pengumpulan serta tertib ueutan-urutan dan pembukuannya; maupun dari sisi pengetahuan tentang sebab nuzul, makiyah-madaniyahnya, nasikh-mansukhnya, muhkam mutasyabihnya, dan berbagai pembahasan lain yang berkenan dengan Al Qur’an atau yang berhubungan dengan Al Qur’an.”[2]
Assuyuthi dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :
علم يبحث فيه عن احوال الكتاب العزيز من  جهة نزوله وسنده وادابهوالفاظه ومعانيه المتعلقة بالاحكام وغير ذالكّ.
“Ilmu yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
Al-Zarqany memberikan definisi sebagai berikut:
مباحث تتعلّق بالقران الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه وكابته وقراءته وتفسيره واعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشّبه عنه ونحو ذالك.
“Beberapa pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya, urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya, nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait dengan keperluan membahas al-Qur’an.
Para ulama berketetapan bahwa hukum mempelajari Ulumul Qur’an   adalah fadhu kifayah (kewajiban kolektif).  Bahkan menjadi wajib fadhu ‘ain bagi para juru dakwah, dosen ‘Ulumul Qur’an, dan para muffasir.
  1. B.     Fungsi dan Keutamaan Ulumul Qur’an
Adapun tujuan dari mempelajari ‘Ulumul Qur’an adalah:
  1. Agar dapat memahami kalam Allah ‘Aza Wajalla sejalan dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan para tabi’in tentang interprestasi mereka terhadap Al-Qur’an
    1. Agar mengetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
    2. Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an
    3. Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Hubungan ‘Ulumul Qur’an dengan tafsir juga dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
  1. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai alat untuk menafsirkan, yaitu:
    1. Ulumul Qur’an akan menentukan bagi seseorang yang membuat syarah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tepat dapat dipertanggung jawabkan. Maka bagi mafassir ‘Ulumul Qur’an secara mutlak merupakan alat yang harus lebih dahulu dikuasai sebelum menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an.
    2. Dengan menguasai ‘Ulumul Qur’an seseorang baru bisa membuka dan menyelami apa yang terkandung dalam Al-Qur’an
    3. ‘Ulumul Qur’an sebagai kunci pembuka dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an sesuai dengan maksud apa yang terkandung di dalamnya dan mempunyai kedudukan sebagai ilmu pokok dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Fungsi dan faedah Ulumul Qur’an adalah sebagai alat atau kunci untuk mengkaji dan menafsirkan alqur’an
v  Ibnu Abi ad-Dunia : ulumul Qur’an bagaikan lautan dalam yang tak bertepi dia merupakan alat bagi mufassir.
v  Az-zarqani : sebagai kunci untuk mengambil khazanah ilmu pengetahuan yang tak ternilai dan budaya universal yang tinggi di dalam Al-qur’an.[3]
Adapun faedah-faedah mempelajari Ulumul Qur’an antara lain :
  • Mampu menguasai berbagai ilmu pendukung dalam rangka memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an.
  • Membekali diri dengan persenjataan ilmu pengetahuan yang lengkap dalam rangka membela Al-Qur’an dari berbagai tuduhan dan fitnah yang muncul dari pihak lain.
  • Seorang penafsir (mufassir) akan lebih mudah dalam mengartikan Al-Qur’an dan mengimplementasikan dalam kehidupan nyata.
  • Membentuk kepribadian muslim yang seimbang.
  • Menanamkan iman yang kuat
  • Memberi arahan untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki dan sumber-sumber kebaikan yang ada di dunia.
  • Menetapkan undang-undang agar setiap muslim mampu memberikan sumbangsih dan kreatif untuk mencapai kemajuan.
  • Membentuk masyarakat muslim yang betul-betul Qur’ani.
  • Membimbing umat dalam memerangi kejahiliyahan.
  1.  Keutamaan Ulumul Qur’an,
Tidak dipungkiri lagi bahwa Al-Qur’an adalah sumber dari segala ilmu. Banyak teori-teori yang ditemukan belakang ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang sudah turun ribuan tahun sebelumnya. Teori yang diungkapakan Harun Yahya mengenai terbentuknya Bumi yang tidak tercipta secara kebetulan, melainkan sudah diatur sedemikian rupa secara implisit itu sudah ada dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 10-11. Dan untuk menggali nilai-nilai dan khazanah keilmuan yang ada dalam Al-Qur’an, Kita membutuhkan ilmu-ilmu yang berhubunngan dengannya. Dari sinilah tampak keutamaan Ulumul Qur’an dibanding dengan ilmu-ilmu yang lain.[4]
  1. Fungsi ‘Ulumul Qur’an sebagai Standar atau Ukuran Tafsir
    Apabila dilihat dari segi ilmu, ‘Ulumul Qur’an sebagai standar atau ukuran tafsir Al-Qur’an artinya semakin tinggi dan mendalam ‘Ulumul Qur’an dikuasai oleh seseorang mufassir maka tafsir yang diberikan akan semakin mendekati kebenaran, maka dengan ‘Ulumul Qur’an akan dapat dibedakan tafsir yang shahih dan tafsir yang tidak shahih.
Ada beberapa syarat dari ahli tafsir ( mufassir) yaitu:
1. Akidahnya bersih
2. Tidak mengikuti hawa nafsu
3. Mufassir mengerti Ushul at-Tafsir
4. Pandai dalam ilmu riwayah dan dirayah hadits
5. Mufassir mengetahui dasar-dasar agama
6. Mufassir mengerti ushul fiqh
7. Mufassir menguasai bahasa Arab
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa ‘Ulumul Qur’an sangat penting dipelajari dalam rangka sebagai pijakan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an oleh para mufassir. Dapat dikatakan semakin dikuasainya ‘Ulumul Qur’an oleh mufassir maka semakin tinggilah kualitas tafsir yang dibuatnya.
  1. C.    Ruang Lingkup Pembahasan Al-Qur’an
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab, seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Dalam kitab Al- Itqan, As-syuyuthi menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab, setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna dzohir, batin, terbatas, dan tidak terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak terhitung. Firman Allah :
قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَاداً لِّكَلِمَـتِ رَبِّى لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَـتُ رَبِّى وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَداً
 “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (Q.S. Al-Kahfi 109)
Objek Studi  Ulumul Qur’an
Objek studi ulumul qur’an adalah al-Qur’an dan seluruh segi yang tercakup di dalam kitab tersebut.   Ulama berbeda pendapat tentang sejauh mana objek pembahasan ulumul qur’an ini.  Jumhur ulama berpendapat bahwa objek pembahasan ulumul qur’an mencakup berbagai segi dari al Qur’an itu berkisar di antara ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama (ushuludin) karena yang dibahas dalam ulumul qur’an adalah ilmu-ilmu yang membicarakan  al qur’an  sebagai i’jaz (mukjizat) dan hidayah (petunjuk).
Metode Studi Ulumul Qur’an
Pendekatan yang digunakan dalam membahas ulumul quran adalah metode diskriptif, yaitu yang memberikan penjelasan dan keterangan yang mendalam mengenai bagian-bagian al Qur’an yang memuat aspek-aspek Ulumul Quran.  Melalui metode inilah banyak tersusun kitab yang membahas ilmu al Qur’an dalam berbagai bidang dan cabang-cabangnya.  Kita-kitab itu merupakan karya besar dan bermutu tinggi (masterpiece) dari hasil kerja keras dan usaha optimal para perintis pertumbuhan cabang-cabang ulumul Qur’an yang lebih dikenal dengan nama Ulumul Qur’an dalam arti Idhafi.  Pertumbuhan cabang-cabang  Ulumul Qur’an terjadi sejak abad ke-dua hingga tujuh Hijriyah.  Selain memakai metode deduksi, juga dipakai metode komparasi yaitu dengan membandingkan segi yang satu dengan yang lain, riwayat sebab-musabab turun ayat yang satu dan riwayat lainnya, pendapat ulama yang satu dengan lainnya.[5]

  1. D.    Pokok Pembahasan dan Cabang Ulumul Qur’an
Secara garis besar Ilmu al Qur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2.  Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
  • Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut  asbabun nuzul dan sebagainya.
  • Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
  • Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
  • Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
  • Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
  • Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
Secara terminologis, ulumul quran mengisyaratkan adanya bermacam-macam ilmu yang berkaitan erat dengan alquran.  Kata ulum dibuat dalam bentuk jamak (taksir) bukan dalam bentuk mufrad karena ilmu yang berkaitan dengan al quran tidak hanya satu, tetapi meliputi seluruh ilmu yang terkandung dalam atau disandarkan kepada alquran.  Ilmu-ilmu yang dikaitakan dan disandarkan dengan alquran antara lain ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil qur’an, ilmu i’jazil quran, ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu i’rabil quran,  ilmu gharibul quran, dan bahasa Arab.[6]
  1. E.     Sejarah Pertumbuhan & Perkembangan Ulumul Qur’an
Sebagai ilmu yang terdiri dari berbagai cabang dan macamnya, ulumul Qur’an tidak lahir sekaligus. Ulumul Qur’an menjelma menjadi suatu disiplin ilmu melalui proses pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan untuk membenahi Al-Qur’an dari segi keberadaanya dan segi pemahamanya.
Al Qur’an menegaskan bahwa penerima wahyu al Qur’an adalah Nabi Muhammad SAW.  Lebih dari itu, Muhammad-lah yang diberi otoritas oleh Allah SWT untuk menerangakan (menafsirkan al Qur’an).  Karenanya mudah dimengerti jika  orang yang mendapat gelar al-muffasir al-awwal (mufasir al Qur’an yang pertama) adalah Nabi Muhammad SAW.
Setiap kali nabi menerima dan menyampaikan ayat-ayat al Qur’an kepada para sahabat,  selama itu pula beliau menerangkan isi kandungannnya.  Terutama ketika timbul pertanyaan-pertanyaan dari anggota sahabat yang mempelajarinya.  Dan Nabi pun dengan penuh tanggung jawab selalu menerangkan isi kandungan ayat-ayat al Qur’an, seiring dengan proses penurunannya yang berjalan sedikit demi sedikit.
Di masa Rasul SAW dan para sahabat, ulumul Qur’an belum dikenal sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri dan tertulis. Para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang dapat merasakan struktur bahasa Arab yang tinggi dan memahami apa yang diturunkan kepada Rasul, dan bila menemukan kesulitan dalam memahami ayat-ayat tertentu, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasul SAW.
Di zaman Khulafa’u Rasyiddin sampai dinasti umayyah wilayah islam bertambah luas sehingga terjadi pembauran antara orang Arab dan bangsa-bangsa yang tidak mengetahui bahasa Arab. Keadaan demikian menimbulkan kekhawatiran sahabat akan tercemarnya keistimewaan bahasa arab, bahkan dikhawatirkan tentang baca’an Al-Qur’an yang menjadi sebuah standar bacaan mereka. Untuk mencegah kekhawatiran itu, disalinlah dari tulisan-tulisan aslinya sebuah al-qur’an yang disebut mushaf imam. Dan dari salinan inilah suatu dasar ulumul Qur’an yang disebut Al rasm Al-Utsmani.
Kemudian, Ulumul Qur’an memasuki masa pembukuanya pada abad ke-2 H. Para ulama memberikan prioritas perhatian mereka kepada ilmu tafsir karena fungsinya sebagai umm al ulum alQur’aniyyah. Para penulis pertama dalam tafsir adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj (160 H), Sufyan Ibn Uyaynah (198 H), dan Wali Ibn al-Jarrah (197 H). dan pada abad ke-3 muncul tokoh tafsir yang merupakan mufassir pertama yang membentangkan berbagai pendapat dan mentarjih sebagianya. Beliau adalah Ibn jarir atThabari (310 H).
Ulumul qur’an sebagai suatu ilmu agama islam yang membahas al qur’an secara integral dan komprehensif telah dirintis sejak sebelas abad  yang lalu oleh Ibnu al-Marzubah (wafat 309 H)  di dalam buku al-hawi fi ulum al-Qur’an.  Kemudian ilmu ini dikembangkan, diperluas dan disempurnakan oleh para ulama sesudahnya, sampai datanglah imam al-Suyuti (wafat 911H) yang berhasil menyusun karangan ilmiah tentang ulumul Qur’an secara lengkap dan sistematis di dalam bukunya al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.  Disamping itu tidak sedikit di kalangan orientalis terutama pada abad 19 Masehi/ 12 H yang telah mengadakan penelitian yang membahas tentang al-Qur’an dari berbagai segi, anatar lain Wiliiam muir, G. Weil, Noldeke, R. Bell, A Rodwell, dll.[7]
Selanjutnya sampai abad ke-13 ulumul Qur’an terus berkembang pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Diantara sekian banyak tokoh-tokoh tersebut, Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an. Jalaluddin al-Syuyuthi (991 H) menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.[8]
Cabang-cabang ilmu pengetahuan untuk mempelajari al Qur’an kian hari semakin beraneka ragam.  Setiap kali al Qur’an itu dibahas dari aspeknya yang manapun,  selama itu pula akan lahir ilmu al Qur’an.  Atas dasar kenyataan ini maka tidak mengherankan manakala kita merasakan bahwa Ulumul Qur’an itu selalu up to date.
Semenjak banyak ulama-ulama yang membukukan baik Tafsir Al-Qur’an ataupun juga ilmu pedukung lainya mulai dari abad pertama hijrah sampai abad kesepuluh pembukuan masih berlanjut.Apalagi pada abad ke –VIII H, Ululumul Alquran perkembanganya sangat pesat dengan lahirnya tokoh-tokoh yang selalu melahirkan buah karyanya untuk terus melengkapi pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Sebab, pada abad ini muncul pengarang-pengarang Ulumul Alquran yang besar seperti:
a) Imam Ahmad Ibnu Zubair 708 H yang mengarang kitab Al-burhan Fitartibi Suwaril Qur’an.
b) Imam Najamuddin Ath-Thufi 716 H yang menulis kitab tentang Ilmu Jidaalil Quran.
c) Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah 751 H, yang menulis kitab At-Tibyan Fi Aqsamil Qur’an.
d) Badrudin Az-Zarkasyi (791 H) yang mengarang kitab  Al-Tibyan ‘Ulumul Qur’an, terdiri dari 4 jilid yang besar-besaryang mengupas 160 cabang Ulumul Qur’an.
e) Abul hasan Al-Mawardi, yang menyusun kitab ‘Ilmu Amtsalil Qur’an.
f)  Jalaluddin al-bulqini (824 H) pengarang kitab Mawaqi’ Al-ulum min Mawaqi’ al-Nujum dipandang Assuyuthi sebagai ulama yang mempelopori penyusunan Ulumul Qur’an yang lengkap. Sebab, dalam kitabnya tercakup 50 macam ilmu Al-Qur’an.

Kecermerlangan Ulumul Qur’an tersebut pada abad ke-X H ditangan pakarnya ulumul Qur’an itu, yaitu Imam Jalaludin Abdur Rahman As-Syuthi (911 H) yang sempat mengarang 3 buah kitab:
Tanasuqud Durar Fi Tanaasubis Suwari
At-tahbir Fi Ulumil tafsiri, yang didalamnya terdiri dari 102 cabang Ulumul Qur’an.
Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an yang terdiri dari dua juz, tetapi dibukukan menjadi satu jilid, didalmnya dikupas 80 cabang ulumul Qur’an secara global, kalau dirinci katanya, bisa menjadi 300 macam cabang Ulumul Qur’an.

Jalaluddin al-Syuyuthi menulis kitab Al-Tahhir fi Ulum al-Tafsir. Penulisan kitab ini selesai pada tahun 873 H. kitab ini memuat 102 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an. Karena itu, menurut sebagian ulama, kitab ini dipandang sebagai kitab Ulumul Qur’an paling lengkap.namun, Al-Syuyuthi belum merasa puas dengan karya monumental ini sehingga ia menyusun lagi kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an. Didalamnya dibahas 80 macam ilmu-ilmu Al-Qur’an secara padat dan sistematis. Menurut Al-Zarqani, kitab ini merupakan pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini. Sampai saat ini bersamaan dengan masa kebangkitan modern dalam perkembangan ilmu-ilmu agama, para ulama masih memperhatikan akan ilmu Qur’an ini. Sehingga tokoh-tokoh ahli Qur’an masih banyak hingga saat ini di seluruh dunia.

Kitab-kitab Al-Burhan karya Azarkasi dan Al-Itqon karya As-Syuthi selalu menjadi referensi para pakar Ulumul Qur’an dalam menulis dan mengajar, mempelajari ilmu Ulumul Qur’an dari dahulu hingga sekarang. Imam As-Syuthi wafat pada tahun 911 H. Beliau wafat pada abad ke-X  H. Akibatnya, pudarlah gerakan penulisan ulumul Qur’an dan terhentilah kegiatan pembukuanya. Sebab, sepeninggal beliau sampai ratusan tahun atau berabad-abad, tidak ada orang yang mengarang Ulumul Qur’an dan menuliskan kitab-kitabnya sampai abad XIV H.
Ulumul qur’an sebagai suatu ilmu agama islam yang membahas al qur’an secara integral dan komprehensif telah dirintis sejak sebelas abad  yang lalu oleh Ibnu al-Marzubah (wafat 309 H)  di dalam buku al-hawi fi ulum al-Qur’an.  Kemudian ilmu ini dikembangkan, diperluas dan disempurnakan oleh para ulama sesudahnya, sampai datanglah imam al-Suyuti (wafat 911H) yang berhasil menyusun karangan ilmiah tentang ulumul Qur’an secara lengkap dan sistematis di dalam bukunya al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.  Disamping itu tidak sedikit di kalangan orientalis terutama pada abad 19 Masehi/ 12 H yang telah mengadakan penelitian yang membahas tentang al-Qur’an dari berbagai segi, anatar lain Wiliiam muir, G. Weil, Noldeke, R. Bell, A Rodwell, dll.[9]
Perkembangan Ulumul Quran Pada Zaman Modern
Sebagaimana penjelesan diatas,bahwa setelah wafatnya As-Suyuthi tahun 911 H atau abad moderen itu bangkit kembali penulisan Ulumul qur’an dan perkembangan kitab-kitabnya. Hal itu ditengarai dengan banyaknya ulama yang mengarang ulumul Qur’an dan menulis kitab-kitabnya , baik tafsir maupun macam-macam kitab Ulumul Quran. Diantara para ulama yang menulis tafsir/Ulumul Qur’an pada abad Modern ini adalah sebagai berikut:
  • Ad-dahlawi: Al-fauzul kabir fi Ushulul tafsir
  • Thahir Al-Jazairi: At-tibyan Fi ulumil Qur’an
  • Abu daqiqah: Ulumul Qur’an
  • M. Ali salmah: Minhajil Furon Fi Ulumil Qur’an
  • Muhammad Bahits: Nuzulu Qur’an Ala sab’ati Ahrufin
  • M. Husein Al-Adawi: Nuzulul Qur’an Ala sab’ati Ahrufin
  • M. Khallaf Ala Husaeini:  Nuzulul Qur’an Ala sab’ati Ahrufin
  • Musthafa shadiq Ar-Rafi’i: I’jaatul Fur’qon Wa Balaaghatun Nabawiyah
  • Abdul ‘Aziz Jawiz: Asrarul Qur’an fi Tahriril Aqlil Basyari
  • Abdul Aziz Al-khuli: Al-Qur’anul karim, Wasfuha, Wa Atsharuhu Wa hidayatuhu, Wa I’jazuhu.[10]
  1. F.     Urgensi mempelajari ‘Ulumul Qur’an
Urgensi ulumul quran akan dirasakan manfaat dan dampak positifnya disaat kita menafsirkan ayat demi ayat  al quran dengan bantualn ulumul quran.  Ruang lingkup Ulumul Qur’an yang nyaris tidak terbatas, itu akan memudahkan siapapun dalam membedah al Qur’an dari berbagai aspeknya.  Ulumul Qur’an tidak sebatas apalagi dibatasi oleh ilmu-ilmu yang bersifat keislaman semata; akan tetapi, juga meliputi bidang-bidang sains dan teknologi yang juga sangat membantu memahami maksud al Qur’an.[11]
Perkembangan sains dan teknologi yang sedemikian pesat, dalam banyak hal sangat membantu mempermudah untuk memahami isi kandungan al Qur’an yang terkait dengan ayat-ayat kauniyah dan lainnya.
Istilah Ulumul Qur’an  tidak tumbuh dan berkembang sekaligus, akan tetapi melalui proses cukup panjang.  Khazanah para intelektual muslim dalam bidang-bidang ilmu al Qur’an terus mengalir waktu ke waktu, tidak terkecuali para sarjana muslim Indonesia.

Jika kalangan ulama kontemporer-khusunya timur Tengah lahir buku ilmu-ilmu al Qur’an semisal Mahabits fi Ulum Al Qur’an  karya Muhammad subni al-Shalih,  Mahabits fi “ulumul Qur’an tulisan  Manna’ al-Qaththan, Min Rawa’ al-Qur’an buah pena Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, dll.  Di Indonesia terbit beberapa buah buku ‘ulum al-Qur’an, diantaranya adalah Sejarah dan pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir ilmu-ilmu al-Qur’an karangan M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar ‘Ulumul Qur’an karangan Masyfuq Zuhdi, Sejarah Al-Qur’an karya Abu bakar Aceh, Al-Qur’an dari masa ke masa buah pena K.H Munawar Khalil,  buku-buku karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab yang concern dengan ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu tafsir, dll.
  1. G.    Sejarah kodifikasi dan Pengumpulan al Qur’an
    1. Pengumpulan Alquran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
Pertama: al Jam’u fis Sudur
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.
Kedua: al Jam’u fis Suthur
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadis-hadis beliau karena khawatir akan bercampur dengan Alquran. Rasul SAW bersabda “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Alquran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Alquran maka hendaklah ia menghapusnya.”
Biasanya sahabat menuliskan Alquran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa‘ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu ( pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Alquran waktu itu mencapai 40 orang. Adapun hadis yang menguatkan bahwa penulisan Alquran telah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: “Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Alquran (mengumpulkan) pada kulit binatang “.
Dari kebiasaan menulis Alquran ini menyebabkan banyaknya naskah-naskah (manuskrip) yang dimiliki oleh masing-masing penulis wahyu, diantaranya yang terkenal adalah: Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Salin bin Ma’qal. Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Alquran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Alquran ke wilayah musuh. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Janganlah kalian membawa catatan Alquran kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Alquran tersebut jatuh ke tangan mereka”.
Sepeninggal Rasulullah SAW, istrinya `Aisyah menyimpan beberapa naskah catatan (manuskrip) Alquran.  Pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a terjadilah Jam’ul Quran, yaitu pengumpulan naskah-naskah atau manuskrip Alquran yang susunan surah-surahnya menurut riwayat masih berdasarkan pada turunnya wahyu (hasbi tartibin nuzul). Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit  untuk  memeriksa dan telitilah Alquran kemudian mengumpulkannya menjadi sebuah mushaf. Selanjutnya Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah s.a.w. yang bernama Hafsah binti Umar r.a.
Khalifah Usman Bin Affan berusaha membukukan Al-Quran karena negara-negara islam pun telah berkembang luas. Orang-orang Arab murni telah bercampur-bawur dengan orang asing yang tidak mengenal bahasa arab. Semua itu menimbulkan kecemasan akan luntur dan hilangnya keistimewaan orang-orang Arab murni.dan banyak perselisihan antara kaum muslimin tentang Al-Qur’an.
Karena kekawatiran itulah, Khalifah Usman Bin Affan memerintahkan kaum muslimin agar seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang telah dikumpulkan  pada masa Abu Bakar dikumpulkan dalam satu mushhaf, kemudian dikenal Mushhaf Usman. Dengan usahanya itu, berarti Khalifah Usman Bin Affan telah meletakkan dasar pertama, yang dinamakan Ilmu Rasmil Qur’an atau Ilmu Rasmil Utsmani.
Pada pemerintahan Khalifah Ali Bin Abi Tholib.Beliau memperhatikan orang-orang asing yang suka menodai kemurnian bahasa Arab.Sebab, belaiau sering mendengarkan sesuatu yang menimbulkan kerusakan bahasa Arab.Karena itu, beliau memerintahkan Abul Aswad Ad-Duali untuk membua sebagian kaidah kaidah-kaidah guna memelihara kemurnian bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an dari permainan dan kerusakan orang-orang yang jahil. Abdul Aswad menulis pedoman-pedoman serta aturan-aturan dalam bahasa Arab.dengan demikian, Kholifah Ali bi Abi Thalib telah meletakkan dasar pertama terhadap ilmu, yang sekarang terkenal dengan namaIlmu Nahwu atau I’robil Qur’
Setelah Kholifah Ali, habislah masa khulafaurrosidin dan datanglah pemerintahan Bani Umayyah, dalam masa ini cita-cita para sahaat dan tabi’in besar ditunjukkan untuk menyebar luaskan Ulumul Qur’an dengan riwayat dan pengajaran langsung, tidak dengan tulisan dan pembukuan. Cita-cita dan semangat penyebaran mereka itu dapat dianggap sebagai pendahulu dari pembukuan Ulumul Qur’an selanjutnya nanti.
Tokoh-tokoh penyebar Ulumul Qur’an dengan riwayat adalah : Khalifah empat, dilanjutkan oleh Abbas, Ibnu Mas’ud , Zaid Ibnu Tsabit, Abu musa Al-Asy’ari dan Abdulloh bin Zubair. Mereka inilah dari kalangan Sahabat.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Alquran disalin dan diperbanyak dari mushaf utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M. Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan) dicetaklah Alquran untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.  Mulai Abad ke-20, pencetakan Alquran dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak. Cetakan Alquran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Alquran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.
  1. Masa-masa kodifikasi
    1. Masa Sebelum Kodifikasi Ulumul Qur’an.
Pada masa ini sebenarnya sudah timbul benih kemunculan Ulumul Qur’an yang dirasakan semenjak Nabi masih ada. Hal ini ditandai dengan gairah semangat yang terpancar dari sahabat dalam mempelajari sekaligus mengamalkan Al-Qur’an dengan memahami ayat-ayat yang terkandung di dalamnya.
Perkembangan Al-qur’an pada massa ini hanya sebatas dari mulut ke mulut, belum ada pembukuan teks Al-Qur’an karena ditakutkan tercampurnya Al-Qur’an dengan sesuatu selain Al-Qur’an. Di samping itu Rosulullah saw juga merekomendasikan untuk tidak menulis Al-Qur’an . dalam hadisnya beliau mengatakan : “Janganlah Kalian menulisakan (sesuatu) dariku. Dan barang siapa menuliskan selain Al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapuskannya . Dan ceritakanlah (sesuatu yang berasal) dariku,tak ada dosa. Namun barangsiapa mendustakanku secara sengaja, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.
  1. Masa Persiapan Kodifikasi Ulumul Qur’an.
Pada masa kholifah Usman bin Affan islam telah tersebar luas. Orang-orang arab yang turut serta dalam ekspansi wilayah berasimilasi dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal bahasa arab. Sehingga dikhawatirkan Arabisitas bangsa itu akan lebur dan Qur’an itu akan menjadi kabur bagi kaum muslimin bila ia tidak di himpun dalam sebuah mushaf sehingga mengakibatkan kerusakan yang besar di dunia ini akibat salah dari penginterpretasian dalam pemaknaan Al-Qur’an. Oleh karena itu, beliau memerintahkan agar Al-Qur’an di himpun dalam satu mushaf. Mushaf inilah yang kemudian disebut dengan Mushaf Ustmani.
Pada masa Ali ra. terjadi banyak penyimpangan dalam membaca bahasa arab sehingga beliau khawatir akan kekeliruan dalam membaca terlebih memahami Al-Qur’an. Beliau memerintahkan Abu Aswad Ad-da’uliy untuk menyusun suatu metode demi menjaga ketatabahasaan Al-Qur’an. Maka lahirlah ilmu nahwu dan I’robul Qur’an. Kemudian pada masa bani Umayyah, para pemuka sahabat dan tabi’in mengarahkan perhatian mereka kepada penyebaran ilmu-ilmu al-qur’an tetapi ini hanya sebatas periwayatan dan penerimaan. Jadi Ilmu-ilmu yang telah ada belum sempat terkodifikasi.
  1. Masa Kodifikasi ULumul Qur’an.
Pada masa pengkodifikasian banyak bermunculan kitab-kitab dan ilmu-ilmu baru mengenai Al-Qur’an meskipun pada awalnya ilmu yang dipioritaskan hanyalah Ilmu Tafsir. Pada abad III H. muncul ilmu Asbabun Nuzul yang disusun oleh Ali bin Al-Madiniy, Ilmu Nasikh wal mansukh, Ilmu Qira’at, dan Ilmu Makki Madani.
Pada abad IV H. muncul Ilmu Gharib al-Qur’an yang disusun Abu Bakar As-Sijistani. begitulah seterusnya hingga abad ke XIV H.
Adapun sejarah turunnya Al-Quran, Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur dalam waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari yaitu mulai dari malam 17 Romadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi sampai 9 Dzulhijah haji wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau tahun 10 H.
Proses turunnya Al-qur’an melalui tiga tahap :
  1. Al-qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh mahfuzh yaitu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Dalam firmannya “Bahkan yang didustakan mereka ialah Al-qur’an yang mulia yang tersimpan dalam lauh al-mahfuzh (Q.S Al-buruuj: 21-22).
  2. Al-qur’an diturunkan dari lauh al mahfuzh ke bait Al-izzah (tempat yang berada dilangit dunia).
  3. Al-qur’an diturunkan dari bait al-Izzah kedalam hati nabi melalui malaikat Jibril dengan cara berangsur-angsur sesuai kebutuhan, adakala satu ayat adapula satu surat.[12]

Pengumpulan Al-Qur’an
  1. Masa Nabi
  • Dengan hafalan : Hufadz al-Qur’an
  • Dengan tulisan : kutab al-wahyu
  • Al-qur’an seluruhnya telah ditulis pada masa nabi namun belum dihimpun dalam sebuah mushaf.
  1. Masa Abu Bakar
  • Faktor yang pendorong penyusunan Al-qur’an
  • Gugurnya Hufadz al-qur’an dalam perang Yamamah
  • Saran Umar untuk menjaga Al-qur’an
  • Pelaksana penyusunan Al-qur’an : Zaid bin Sabit, Zaid dipilih karena hafal Al-qur’an, sekretaris wahyu, menyaksikan penyampaian al-qur’an sampai akhir hayat nabi, cerdas amanah sempurna akhlaknya.
  • Dokumen yang ditulis dihadapan Nabi tidak diterima kecuali dengan dua saksi.
  • Hafalan para Hufadz, sehingga mushaf susunan Zaid bin Sabit diterima secara bulat tanpa seorangpun yang mengingkari (ijma’ ummah)
  1. Masa Utsman
Faktor pendorong : perbedaan bacaan Al-qur’an
  • Pelaksana penyusunan Al-qur’an : Tim empat (Lajnah Rubaiyah)
Zaid bin Sabit (ketua)
Zaid bin Ash
Abdullah bin Zubair
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam
  • Sumber penyusunan
Mushaf Abu Bakar
Uji Shahih oleh para sahabat
  • Mushaf Utsman diterima sebagai ijma’ ummah dan dijadikan sebagai satu-satunya pedoman bagi seluruh umat islam.[13]











BAB III
PENUTUP
  1. A.    Kesimpulan
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Pertumbuhan dan perkembangan ‘Ulumul Qur’an berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Walaupun pada masa nabi hidup di siplin ilmu ini belum dibukukan, sebab sahabat merasa cukup meminta penjelasan dari rasul akan sesuatu yang tidak dipahami. Namun hal ini berkembang, dimana wilayah Islam telah luas dan banyak orang ‘Ajam (non Arab) yang masuk Islam, tentunya mereka mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an. Lahirlah inisiatif dari Usman untuk menyalin Al-Qur’an kembali dari Salinan Al-Qur’an yang pernah ditulis di masa Nabi hidup dan diperbanyak. Tindakan ini disusul dengan berbagai kegiatan para sahabat dan para tabi’in untuk menggali berbagai ilmu dalam Al-Qur’an, sehingga lahirlah berbagai kitab. Akhirnya pada abad ke-2 H ‘Ulumul Qur’an mulai dibukukan. Dengan kitab-kitab yang sudah ditulis tersebut semakin meramaikan pembahasan para Ulama tentang Al-Qur’an. Imam As-Suyuthi adalah salah satu Ulama ‘Ulumul Qur’an yang berpengaruh, karena kitabnya menjadi pegangan bagi para peneliti dan penulis dalam ilmu ini.
Keberadaan Ulumul Qur’an dalam konteksnya  yang serba luas dan umum, memegang fungsi dan posisi penting bagi penafsiran al Qur’an sepanjang Zaman.
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia.
Ulumul Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas. Ulumul Qur’an  meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an, baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab. Disamping itu, masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya.
Keberadaan Ulumul Qur’an dalam konteksnya  yang serba luas dan umum, memegang fungsi dan posisi penting bagi penafsiran al Qur’an sepanjang Zaman.




Comments

Popular Posts