Makalah Ahlak Tasawuf


aMakalah Ahlak Tasawuf
Hasil gambar untuk akhlak tasawuf
A.    Latar Belakang
Dalam rangka meraih derajat kesempurnaan, seorang sufi dituntut untuk melampaui tahapan-tahapan spiritual, memiliki suatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah SWT. jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniah (riyadhah) lalu secara bertahap menempuh berbagai fase yang dalam tradisi tasawuf dikenal dengan Maqam (tingkatan).
Tingkatan (maqam) adalah tingkatan seorang hamba dihadapannya tidak lain merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap, inilah yang membedakan dengan keadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara. Jika dirunut sejarahnya, konsep tentang maqamat dan ahwal sesungguhnya telah ada pada masa awal-awal Islam. Tokoh pertama yang berbicara tentang dua konsep penting dalam tasawuf ini adalah Ali ibn Abi Thalib; ketika ditanya tentang iman, ia menjawab bahwa iman dibangun diatas empat pondasi: kesabaran (shabr), keyakinan (yaqin), keadilan (‘adl) dan perjuangan (jihad). Senada dengan pandangan ini, tokoh pertama yang juga membahas tentang ahwal adalah Zunnun Al-Mishri, sementara Sari al-Saqati merupakan sufi pertama yang menyusun maqamat dan menjelaskan tentang ahwal. Di dalam makalah ini, penulis akan uraikan tingkatan (maqam) dan ahwal atau hal secara singkat.



B.     Pembahasan
2.1 Maqam
            Macam-macam maqam dalam tasawuf yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri atas: tobat, wara’, zuhud, faqr (fakir), sabar, rela (ridha) dan tawakal.
1.      Tobat
Dalam ajaran tasawuf tobat termasuk sebagai maqam pertama yang harus dilalui dan dijalani oleh kaum sufi. Kebanyakan kaum sufi menjadikan tobat sebagai awal di jalan menuju Allah SWT. Dimana tobat memiliki pengertian yaitu menyadari kesalahan sepenuh hati dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Apabila telah tercapai maqam attaubatu min taubatihi yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri.
2.      Wara’
Wara’ yaitu menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram dan halanya serta orang yang menjaga marwah (harga diri). Hal ini berlaku dalam segala hal atau aktivitas kehidupan manusia seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, dan lain-lain. Nabi yang bersabda artinya ibadah itu sepuluh. Sembilan dari pahala dalam mencari halal, jadi sembilan persepuluh dari ibadah adalah mencari hala. Wara’ dibagi menjadi dua yaitu wara’ segi lahir dan wara’ batin. Wara’ lahir yaitu hendaklah kamu tidak bergerak terkecuali untuk ibadah kepada Allah. Wara’ batin yaitu agar tidak termasuk dalam hatimu terkecuali Allah Ta’ala.
3.      Zuhud
Sesudah maqam wara’ dikuasai mereka baru berusaha menggapai maqam diatasnya, yakni maqam zuhud. Berbeda dengan wara’ yang pada dasarnya merupakan perilaku menjauhi yang subhat dan setiap yang haram, maka zuhud pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin mengutamakan kesenangan duniawi. Jadi dapat disimpulkan zuhud merupakan maqam yang bertujuan menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan kamu dari Allah SWT.
Misalnya seseorang hamba mempunyai hasrat, keinginan dan nafsu untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawisebagai tujuan hidupnya atau sehingga memalingkan dari Tuhan. Oleh karena itu, seorang sufi dituntut untuk terkebih dahulu memalingkan seluruh aktivitas jasmani dan rohaninya dari hal-hal yang bersifat duniawi.
4.      Faqr (Fakir)
Dapat berarti sebagai kekurangan yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena kekayaan/harta memungkinkan manusia dekatpada kejahatan dan membuat jiwa menjadi lupa padaAllah. Maka dapat disimpulkan bahwa fakir adalah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan dari Allah atau penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang membuat jauh dari Tuhan.
5.      Sabar
Dalam Islam mengendalikan diri untuk laku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam tasawuf sabar dijadikan suatu maqam sesudah maqam fakir karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus bisa mencapai fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam rintangan, oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Dimana sabar memiliki pengertian yaitu menahan diri dari nafsu dan amarah. Diman firman Allah yaitu:
            “Wahai orang-orang yang beriman minta tolonglah dengan shalat dan sabar, sesungguhnya Allah bersam-sam orang sabar”
6.      Rela (Ridha)
Rela (Ridha) berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Dan orang yang rela mampu menerima dan melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah SWT. dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya.
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapa apa yang dicintai Allah SWT. dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya denga cara apa pun yang disukai Allah SWT.
7.      Tawakal
Dalam syariat Islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan segala daya dan upaya serta ikhtiar dijalankannya. Tasawuf menjadikan maqam tawakal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan hati manusia agar tidak memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Tawakal merupakan keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT. serta berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Dikatakan oleh sejumlah kaum sufi bahwa barang siapa yang hendak melaksanakan tawakal dengan sebenar-benarnya hendaknya ia menggali kubur disitu melupakan dunia dan penghuninya artinya tawakal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah SWT.

2.2 Ahwal
            Terdapat beberapa macam ahwal. Beberapa diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut.
1.      Khauf
Khauf menurut ahli sufi berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya pengabdian. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Oleh karena itu adanya perasaan  seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Bisa jadi perasaan khauf ini timbul karena takut kepada siksa Allah. Juga bisa timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allahsudah begitu mendalam, sehingga ia merasa khawatir kalau-kalau Allah melupakannya.
Dalam hubungan ini Imam al-Ghazali berbicara tentang macam-macam khauf. Beliau membagi khauf kepada dua macam, yaitu: (1) khauf karena khawatir nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempatnya, dan (2) khauf kepada siksaan sebagai akibat perbuatan kemaksiatan. Khauf seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.
Dalam pandangan Al-Sarraj, khauf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan ada adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan.
2.      Raja’
Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimis dalam memperoleh karunia dan rahmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh, karena ia yakin bahwa Allah Maha Pengasih, Penyayang, dan Maha Pengampun. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampun, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah. Perasaan optimis ini akan memberi gairah bagi sufi untuk terwujudnya apa yang di idam-idamkan.
Dalam konteks ini Ibn Qudamah al-Muqaddasi mengatakan bahwa yang dikatakan dengan Raja’ ialah rasa lapang dada karena menantikan yang diharapkan, yaitu hal yang mungkin terjadi. Tetapi jika diharapkan itu mustahil terjadi, maka yang demikian dinamakan tamanni (ilusi). Dan beliau juga mengatakan “dan sesuatu yang terlintas di dalam hati yang merupakan harapan pada masa yang akan datang dinamakan raja’, dan yang merupakan sesuatu yang ditakuti dalam khauf.
3.      Syauq
Syauq adalah kerinduan, karena setiap orang yang cinta kepada sesuatu tentu ia merindukannya. Secara psikologi, rindu tidak akan tumbuh, melainkan terhadap sesuatu yang sudah diketahui. Terhadap sesuatu yang belum diketahui tidak mungkin lahir rasa rindu. Kesempurnaan rasa rindu itu adalah dengan ru’yah (melihat) dan liqa’ (bertemu) yang dirindukan, dan yang demikian akan dapat pada hari akhir nanti.
Dengan demikian, syauq adalah rasa rindu yang memancar dari kalbu karena gelora cinta sejati. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang yang bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu. Rindu ingin bertemu, dan hasrat yang selalu bergelora. Setiap denyut jantung, detak kalbu dan desah nafas, ingatannya hanya kepada Allah. Inilah syauq. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi untuk selalu ada sedekat mungkin dengan Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan.
4.      Uns
dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman. Perasaan ‘Uns merupakan kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan (pencerahan dan kebenaran). Seseorang yang pada kondisi ‘Uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, serta suka cinta yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah yang mana hati dan perasaaan diliputi oleh cinta roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Zunnun memandang Uns’ sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencipta terhadap kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.” Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.
Pengertian lain ‘Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuhkepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan benda dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut Al-‘Uns. Situasi ‘uns in mirip dengan al-fana sebab kata Dzu al-nun seseorang yang memperoleh keadaan ‘uns kiranya ia dilemparkan ke neraka, tentu tidak akan merasakan panasnya neraka itu. Dan Al-Junaid juga mengatakan apabila seseorang telah sampai pada kondisi ‘Uns, andai kata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Walaupun situasi atau keadaan ‘uns itu mirip dan sudah hampir sama dengan fana, namu orang sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahn, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah.
5.      Mahabah
Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katannya. Mahabah berasal dari kata hibbah, yang berarti benih yang jathu ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman
Dalam perspektif tasawuf, mahabah bisa ditelusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut Al-Junaid, cinta adalah kecenderungan hati. Yakni hati cenderung kepada Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa=apa yang datang dari yang dikasihinya.
6.      Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung, tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi perasaan yang mantap, Dia lah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung, itulah yang disebut dengan Al-Yaqin. Yaqin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran yang pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya.
Selanjutnya, menurut sebagian orang sufi, yaqin adalah suatu pengetahuan yang diletakkan kedalam hati seseorang. Jadi berdasarkan pendapat ini bahwa keyakinan itu adalah pengetahuan yang didapat tanpa melalui usaha, tapi hanya semata limpahan karunia Allah. Sebaliknya, Abu Bakar Thahir mengatakan: “Yaqin adalah ilmu yang memiliki kepastian tanoa ada keraguan.” Berdasarkan pengertian ini maka yaqin adalah ilmu pengetahuan yang didapat dengan perantaraan usaha. Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf itu bagi orang mubtadi didapatnya dengan perantaraan belajar. Namun bagi orang muntani, ilmu itu hanya didapat melalui limpahan karunia Allah SWT.
Keyakinan menurut Al-Sarraj merupakan hal yang tinggi ia adalah pondasi dan sekaligus bagian akhir serta pangkalan terakhir dari seluruh ahwal. Dengan kata lain seluruh ahwal terletak pada keyakinan yang tamapak (Zahir). Puncak dari keyakinan ini diisyaratkan Allah dalam firman-Nya.



C.    Kesimpulan
Bahwasanya Maqam adalah tingkatan seseorang hamba dihadapan-Nya tidak lain merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Maqam ini bertujuan untuk melihat seberapa besar amal ibadah seorang manusia dihadapan Allah SWT. sehingga manusia tersebut mencapai kesempurnaan dalam ibadah dan beramal.
Dimana maqam terbagi menjadi tujuh, yaitu:
·         Maqam tobat
·         Maqam wara’
·         Maqam zuhud
·         Maqam fakir
·         Maqam sabar
·         Maqam ridha
·         Maqam tawakal
Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang ada pada maqam tersebut. Sebagaimana digambarkan oleh Al-Qusyairia bahwa seseorang yang belum sepenuhnya qanaah tidak bisa mencapai tawakal dan barangsiapa yang belum sepenuhnya tawakal tidak bisa sampai pada taslim. Barangsiapa yang belum sepenuhnya taubah tidak bisa sampai inabat dan barangsiapa yang belum sepenuhnya wara’ tidak bisa mencapai zuhud begitu seterusnya.
Dan mengenai ahwal, meski sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bangun Nasution & Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada

Comments

Popular Posts